BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Niti
Sastra berasal dari kata Niti dan Sastra. Kata Niti yang berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu “ni” dan “ktin” berarti “to lead, memimpin”. Kamus Kecil Sanskerta-Indonesia menjelaskan
bahwa kata “ni” berarti menuntun atau
memimpin atau hal memimpin. Kemudian kata “Niti”
diartikan sebagai kemudi, pimpinan. Sedangkan kata Sastra berarti ajaran atau
ilmu. Oleh karena itu secara etimologis Niti Sastra sebenarnya diartikan
sebagai ilmu kepemimpinan. Niti Sastra juga mengandung ajaran kepemimpinan yang
bersifat umum dan praktis berlandaskan ajaran Agama Hindu. (Suhardana, 2008 :
6)
Pemimpin
memainkan peranan yang sangat menentukan kiprah suatu organisasi di
tengah-tengah masyarakat. Disamping tentunya faktor-faktor adanya tujuan yang
jelas dan benar sebagai sumber motivasi untuk berjuang dan mengabdi, serta
adanya program yang terarah, realistik dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh,
mempunyai sarana baik berupa organisasi yang baik, dukungan dana yang memadai
dan mempunyai kader yang handal sebagai motor penggerak organisasi. Integritas
pribadi, visi dan karakter seorang pemimpin dengan corak dan gaya
kepemimpinannya sangat besar pengaruhnya pada dinamika kehidupan organisasi.
Maju mundurnya organisasi dipengaruhi oleh kepemimpinan para pemimpinnya dalam
mengemban tugas kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan yang handal, penuh dedikasi,
memiliki komitmen pada cita-cita dan berwibawa, sulit dibayangkan bahwa suatu
organisasi akan mampu bergerak menuju cita-citanya. (Oka Mahendra, 2001 : 1).
Dalam
makalah ini, kami akan membahas mengenai kepemimpinan Mahatma Gandhi, dimana
Mahatma Gandhi yang memiliki nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi merupakan salah
satu tokoh pemimpin yang dikenal mampu mengubah dan menginspirasi dunia. Ia
telah mendarmabaktikan pemikiran dan hidupnya untuk memajukan dunia, mewujudkan
perdamaian abadi yang dilandasi kebenaran, keadilan dan cinta kasih yang tulus.
Dalam situasi masyarakat yang dihantui oleh berbagai tindak kekerasan yang
terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di bumi Nusantara ini. Ajaran
Gandhi tentang Satyagraha dan Ahimsa sangat relevan untuk
ditelaah dan diamalkan.
Dari
uraian latar belakang di atas, adapun beberapa masalah yang timbul dan perlu
diungkapkan sebagai rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah
yang dimaksud dengan kepemimpinan ?
2. Bagaimanakah
biografi dari Mahatma Gandhi ?
3. Apa
sajakah ajaran-ajaran dari kepemimpinan Mahatma Gandhi ?
4. Apa
sajakah prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan yang dianut oleh Mahatma Gandhi ?
5. Mahatma
Gandhi termasuk dalam tipe kepemimpinan apa ?
1.3
Tujuan
dan Manfaat Masalah
Adapun tujuan serta manfaat
dari masalah yang akan kami bahas adalah sebagai berikut :
1. Untuk
dapat mengetahui dan memahami pengertian dari kepemimpinan.
2. Untuk
dapat mengetahui dan memahami biografi dari Mahatma Gandhi.
3. Untuk
dapat mengetahui dan memahami ajaran-ajaran dari kepemimpinan Mahatma Gandhi.
4. Untuk
dapat mengetahui dan memahami prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan yang dianut
oleh Mahatma Gandhi.
5. Untuk
dapat mengetahui dan memahami Mahatma Gandhi termasuk dalam tipe kepemimpinan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kepemimpinan
Secara
umum kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun.
Dari kata pimpin tersebut lahirlah kata kerja memimpin yang artinya membimbing
atau menuntun, dan kata benda memimpin yang berarti orang yang berfungsi
memimpin atau menuntun orang banyak. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mengkordinasikan dan mengarahkan beberapa orang serta golongan. Maka pimpinan
itu harus mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasikan, mengadakan perencanaan,
mampu menggerakkan serta dapat melakukan pengawasan. Pendapat lain mengatakan
bahwa kepemimpinan adalah tindakan pemimpin menurut tugas dan fungsi pokoknya.
Untuk
dapat menggerakkan beberapa orang pelaksana, seorang pemimpin harus memiliki
kelebihan daripada orang yang dipimpin. Misalnya kelebihan menggunakan
pikirannya, rohaniah dan badaniah. Howard W. Hoyt dalam bukunya Aspect Of Modern Public Administration
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku
manusia dan kemampuan untuk membimbing beberapa orang. Ada pula yang mengatakan
bahwa pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi dan membimbing orang
lain, sehingga tergerakkan untuk turut mengikuti kemauannya dengan ikhlas untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Jadi pemimpin itu adalah orang yang mempunyai
kelebihan tertentu dari orang sekitarnya, sehingga ia menjadi pemimpin dalam
bidangnya.
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu cara untuk mempengaruhi dan
membimbing orang sedemikian rupa, sehingga mendapatkan kepatuhan dan ikhlas
untuk dapat menunaikan tugas. George R. Terry
dalam bukunya Principle of
Management mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi
orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan kelompok.
Setiap
organisasi memerlukan kepemimpinan yang bukan saja mampu melahirkan
gagasan-gagasan pembaruan, tetapi juga mampu berbuat atau melahirkan karya yang
bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama dengan
mengerahkan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien. Seorang
pemimpin selain harus mengetahui apa yang benar juga harus dapat melakukan apa
yang benar, agar tujuan yang hendak diwujudkan dapat dicapai dengan cara-cara
yang benar, sesuai dengan dharma dan dapat dipertanggungjawabkan secara
konstitusional, politis maupun etis.
2.2
Biografi Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi atau juga dipanggil Mahatma Gandhi dalam bahasa Sansekerta yang
berarti “jiwa agung” adalah
seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara yang merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri. Gandhi adalah salah seorang yang
paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Dia adalah aktivis yang tidak menggunakan kekerasan, yang mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Gandhi adalah sosok yang sangat peduli dengan
berbagai bentuk penindasan dan kekerasan dalam masyarakat. Pergulatan
kehidupannya baik di India maupun di Afrika telah mendorongnya untuk menjadi
pejuang yang terkenal dengan gerakan antikekerasan. Perjalanan hidupnya yang penuh dengan “derita”, di caci
maki dan dihina serta di penjara oleh kolonian inggris menjadi pemberi semangat
untuk tetap berjuang menegakkan peradaban yang penuh kedamaian, tanpa
kekerasan. Penderitaan orang lain, akibat perang dan konflik, telah mengusik
nurani kemanusiaannya bahwa semua itu harus dihentikan.
2.2.1
Masa Kecil Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi
adalah nama yang diberikan ketika seorang bayi laki-laki dilahirkan di
Porbander, sebuah kota di pesisir pantai yang sekarang dikenal dengan nama
Gujarat, India Barat pada tanggal 2 Oktober 1869. Ayahnya bernama Karamchand Gandhi berasal dari komunitas Hindu
Modh adalah seorang diwan atau perdana menteri dari kerajaan Porbander. Ibunya bernama Pudibai, berasal dari komunitas Hindu Pranami Vaishnava dan merupakan istri
keempat dari Karamchand Gandhi. Sedangkan 3 istri terdahulunya meninggal ketika
melahirkan bayi. Tumbuh dengan ibu yang beriman dan tradisi agama yang kuat,
Mahatma Gandhi muda telah menyerap nilai-nilai kehidupan yang kelak menjadi
dasar hidupnya, diantaranya rasa belas kasihan terhadap makhluk hidup,
vegetarian, puasa untuk pemurnian diri, dan toleransi antar umat beragama.
Di bulan Mei 1883, Mahatma
Gandhi (13 tahun) menikah dengan Kasturbai Makhanji (14 tahun) dalam pernikahan
yang diatur oleh orang tuanya. Berdasarkan kepercayaan pengantin wanita lebih
banyak tinggal di rumah orang tua mempelai wanita dan jauh dari suaminya,
Mahatma Gandhi. Pada tahun 1885, Mereka dikaruniai seorang anak namun hanya
bertahan beberapa hari. Pada tahun itu juga ayah dari Mahatma Gandhi meninggal
dunia.
2.2.2 Masa dewasa
Mahatma Gandhi
Mahatma dan Kasturba memiliki
4 anak lagi yaitu Harilal lahir tahun 1888, Manilal lahir tahun
1892, Ramdas lahir tahun 1897 dan
Devdas lahir tahun 1900. Walaupun sudah menikah, Mahatma Gandhi tetap
mendapatkan pendidikan SMP dan SMA. Bahkan Beliau melanjutkan kuliah di
Universitas Samaldas College di Ahmedabad. Tidak puas belajar di
universitas tersebut membuat ia melanjutkan studinya ke Inggris pada tahun
1887. Ia masuk di Samaldas College Bhavnagar. Merasa kesulitan dalam mengikuti
kuliah-kuliahnya, pada akhir kuartal pertama ia memutuskan untuk pulang.
Kebetulan sekali seorang Brahmana yang menjadi penasihat keluarga Gandhi
bernama Mavji Dave menganjurkan Gandhi untuk melanjutkan studi ke Inggris,
alasannya supaya Gandhi kelak bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Gadi.
Tawaran Mavji Dave diterima oleh Gandhi dengan tangan terbuka.
Di Inggris, Gandhi mengalami kesulitan makanan, karena
ia telah berjanji bahwa selama tinggal di London tidak akan makan daging. Ia
selalu berpikir tentang rumah dan negerinya serta keluarganya, sehingga di
London ia merasa asing. Selama di London, Gandhi mengikuti perkumpulan vegetarianisme dan ia dipilih menjadi
anggota Badan Pelaksana. Disinilah ia berhubungan dengan orang-orang yang
dianggap soko guru vegetarianisme. Gandhi
belajar Ilmu Hukum dalam waktu yang relatif cepat selama di Inggris. Setelah
dua tahun delapan bulan berada di Inggris, Gandhi melewati ujian akhirnya di
Inner Temple Inn Of Court di London, dan dipanggil ke sidang dalam bulan Juni
1891.
Gandhi adalah seorang yang produktif dan cara
belajarnya metodis. Di sana ia tidak hanya belajar menjadi hakim saja, tetapi
juga belajar cara hidup di Eropa, dan belajar bahasa Francis, Latin, Ilmu Alam
dan Hukum Adat serta Hukum Romawi. Pada usia 22 tahun Gandhi telah
menyelesaikan semua pelajarannya dengan baik. Peristiwa yang membuatnya berduka
adalah ketika kembali ke India, ia menemui kenyataan bahwa ibunya telah tiada.
Bagi Gandhi, ibunya banyak meninggalkan pengaruh spiritual yang dalam bagi
dirinya. Gandhi lalu mengadakan penghormatan terhadap ibunya sesuai dengan
keyakinan dan mengembangkan ajaran-ajaran ibunya tentang kedamaian dan tanpa
kekerasan yang dijiwai oleh keyakinan agamanya.
Pada tahun 1893 Gandhi ditawari pekerjaan untuk
mewakili pedagang India yang kaya raya di Afrika Selatan. Kesempatan yang
sangat baik bagi Gandhi untuk dijadikan sebagai titik awal mengubah keadaan
hidupnya. Itulah sebabnya ia memutuskan berangkat ke Afrika Selatan, pada saat
kondisi masyarakat Afrika Selatan sedang carut marut dan terkotak-kotak.
2.2.3 Pergerakan
sipil di Afrika selatan (1893–1914)
Afrika Selatan saat itu sedang dilanda konflik antara ras, kulit hitam
dan kulit putih. Saat Gandhi tiba di Afrika Selatan mereka sedang terlibat
perang saudara yang sangat sengit. Komunitas India yang berjumlah lebih dari
ratusan ribu dipandang rendah, dan mereka didatangkan ke Afrika Selatan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang rendah dan tak menyenangkan, yang takkan
dilakukan oleh orang berkulit hitam, terutama pekerjaan di ladang pertanian dan
perkebunan tebu. Realitas ketertindasan komunitas India banyak ditemukan di
Afrika Selatan saat itu.
Selama di Afrika Selatan, Gandhi melihat dan menyaksikan begitu banyak
derita dan siksaan serta diskriminasi yang menimpa komunitas India. Beberapa
peraturan dan undang-undang pemerintah dibuat untuk membatasi dan menyerang
orang-orang Indi, serta menghilangkan hak-hak mereka untuk memilih, memiliki
tanah dan bergerak secara bebas.
Pengalaman pedih di Afrika Selatan membuat Gandhi mulai melakukan
perlawanan dengan membuat gagasan pertamanya sekaligus menjadi gerakan
perjuangannya Satyagraha. Satyagraha
yang berarti kekuatan kebenaran atau kekuatan kasih sayang. Satyagraha
merupakan usaha mempertahankan kebenaran bukan dengan hukuman yang menderitakan
lawan, namun dengan hukuman terhadap diri sendiri.
2.2.4 Pergerakan
kemerdekaan India
Pergerakan di Afrika Selatan
tersebut membuka jalan bagi pergerakan memperjuangkan kemerdekaan India. Beliau
bahkan mengambil peran dalam perang Zulu di afrika. Di tahun 1915 Mahatma
Gandhi pulang ke India. Beberapa pergerakan dilakukan untuk memperjuangkan
kemerdekaan India. Gandhi menjalankan konsep tanpa kekerasaan dan perdamaian
sebagai “senjata” untuk melakukan pergerakan terhadap Inggris. Tahun 1946,
Gandhi menyarankan anggota kongres untuk menolak proposal yang diajukan oleh
pemerintah Inggris. Walaupun demikian ini adalah salah satu dari beberapa kali
kongres menolak nasehatnya.
Walaupun Nehru dan Patel mengetahui jika kongres menolak proposal itu maka
kontrol pemerintah akan berpindah ke Liga Muslim. Antara tahun 1946-1948
ini, sekitar 5000 orang terbunuh dalam kekerasan ini.
Gandhi sangat menentang ide
untuk membagi India menjadi 2 negara. Pertumbuhan penduduk muslim di India yang
hidup berdampingan dengan Hindu dan Sikh menjadi tersekat. Apalagi Muhammad Ali
Jinnah, pemimpin liga Muslim, mendukung penyebaran di Punjab Barat, Sindh,
Propinsi frontier barat daya, dan Bengal Timur. Rencana penyekatan disetujui
oleh kongres untuk menghindari perang sipil di India. Walaupun demikian kongres
tetap berusaha untuk meminta dukungan dari Mahatma Gandhi yang pasti
menolaknya. Dengan bantuan kolega terdekat Gandhi, Beliau akhirnya luluh dan
menyetujui petisi tersebut.
Mahatma Gandhi sering memimpin pertemuan antara pemimpin Muslim dan Hindu. Namun
dalam perang India-Pakistan tahun 1947, Gandhi mempermasalahkan pemerintah yang
menolak membayar 250juta rupee kepada Pakistan. Pemimpin seperti Sardar Patel
takut Pakistan menggunakan uang untuk membiayai perang melawan India. Perasaan
Gandhi hancur ketika ada permintaan untuk mengirim balik warga Muslim ke
Pakistan. Saat itu pemimpin Hindu dan Muslim frustasi karena tidak mencapai
kesepakatan. Gandhi kemudian mengeluarkan pernyataan di Delhi untuk
menghentikan seluruh kekerasan dan membayar 25juta rupee kepada pakistan.
Gandhi takut ketidakstabilan dan ketidakamanan di Pakistan dapat meningkatkan
kemarahaan untuk melawan India dan kekerasaan akan menyebar di seluruh
perbatasan. Beliau juga menyadari akan kemungkinan Muslim dan Hindu untuk
melakukan perang sipil di India.
Setelah melalui perdebatan
yang panjang dan emosional, Gandhi menolak untuk memindahkan warga ke Pakistan
dan akhirnya pemerintah membayar ke Pakistan. Pemimpin komunitas Hindu, Muslim,
Sikh dan beberapa aliran kepercayaan lainnya menjamin bahwa mereka akan
meninggalkan kekerasaan dan menjalankan perdamaian.
2.2.5 Pembunuhan
Mahatma gandhi
Tanggal 30 Januari 1948, Mahatma Gandhi tertembak dan meninggal dunia dalam perjalanan publik
malam di New Delhi. Pembunuhnya adalah Nathuram Godse, seorang penganut Hindu
Radikal yang kesal karena menganggap Gandhi sebagai penyebab India membayar ke
Pakistan. Memorial Gandhi di New Delhi berisi prasasti bertuliskan “He Ram”
atau bisa diartikan “Oh God”. Banyak yang percaya bahwa itu adalah kata
terakhir yang diucapkan oleh Mahatma gandhi ketika tertembak.
2.3 Ajaran-Ajaran Kepemimpinan
Mahatma Gandhi
Perjuangan Gandhi untuk meraih
kemerdekaan India tidak lepas dari ajaran-ajarannya yang ia praktekkan dalam
hidupnya. Gandhi dalam menjalankan aksi perlawanannya selalu mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis dasar gerakannya. Beberapa gerakan
tersebut antara lain sebagai berikut :
2.3.1 Ahimsa
Secara harafiah ahimsa berarti tidak menyakiti, tetapi
menurut Gandhi pengertian seperti itu belum cukup, menurutnya ahimsa berarti
menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti
hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri
sendiri dengan memperalat serta mengorbankan orang lain.
Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran ibarat saudara
kembar yang sangat erat, namun membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa
merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya.
Pengertian ahimsa sebagai suatu sarana, berarti tidak mengenal kekerasan untuk
mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan maupun tindakan. Justru
kebalikannya, ahimsa harus dapat menciptakan suasana membangun, cinta dan
berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya,
bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Dalam konsep ahimsa, tampaknya Gandhi menuntut adanya
suatu kepribadian utuh yang tidak hanya dilakukan pada satu bagian saja,
artinya satunya pikiran, ucapan, dan tindakan harus berjalan seirama. Untuk
menerapkan ahimsa dalam kehidupan sehari-hari tidak mudah. Gandhi mengandaikan
bahwa ahimsa sebagai sarana, tak ubahnya seperti orang yang berjalan pada
seutas tali, yakni dibutuhkan pemusatan pikiran secara penuh agar dapat
melintasinya. Demikian pula untuk menyadari kebenaran melalui ahimsa dibutuhkan
upaya yang tak henti-hentinya. Jadi ahimsa adalah dasar dan pedoman bertindak
untuk mencari kebenaran. Bagi pencinta dan pembela kebenaran harus bersifat
dinamis, artinya tidak boleh cepat puas dengan hasil yang dicapainya.
2.3.2
Satyagraha
Satyagraha adalah kata Sanskerta yang merupakan
gabungan dari kata satya dan agraha yang berasal dari akar kata grah yang berarti menangkap,
mencengkeram, memegang, bergulat dengan. Secara harfiah satyagraha berarti suatu pencarian kebenaran dengan tidak kenal
lelah dan suatu ketepatan hati untuk mencapai kebenaran. Berpegang teguh pada
kebenaran artinya satyagraha merupakan
jalan hidup seseorang yang berpegang teguh pada Tuhan dan mengabdikan seluruh
hidupnya pada Tuhan. Karena jalan satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah
cinta atau ahimsa. Maka satyagraha juga
berarti mengejar tujuan yang benar dengan sarana ahimsa. Satyagraha mengambil
bentuk tindakan dengan sikap non-violence
berdasarkan ahimsa. Tindakan tersebut secara praktis dapat dilaksanakan dengan
:
1.
Civil
Disobedience (ketidakpatuhan sipil) berarti melanggar hukum yang
dipandang tidak adil, misalnya hukum pajak yang pernah diterabas Gandhi dan
para pengikutnya pada tahun 1919. Ketidakpatuhan sipil ini membutuhkan
keberanian untuk menanggung segak sanksi hukum, meskipun dipenjara, sebagai
akibat ketidakpatuhannya harus diterima dengan senang hati dan gembira.
2.
Non-Cooperation,
berarti menolak mengambil bagian dalam sistem yang tidak adil. Gerakan ini
lebih bersifat terbuka bagi umum yang dapat dilaksanakan oleh semua lapisan
masyarakat, karena mencakup pada pemogokan sekolah-sekolah,
perusahaan-perusahaan dan tugas-tugas pemerintahan. Non-cooperation tidak
ditujukan pada seseorang, melainkan ditujukan kepada sistem yang tidak adil,
yang menyebabkan banyak orang menderita. Pada dasarnya, tujuan pahlawan itu
untuk meminta perubahan struktur yang menindas.
3.
Puasa, yaitu
pengendalian diri agar menghasilkan kewaspadaan dan sikap hormat pada orang
lain. Puasa membuat sesseorang tidak hanya mengenali
kecenderungan-kecenderungan batinnya sampai yang paling lembut sekalipun,
dengan puasa seseorang juga dapat semakin memurnikan intensitasnya. Puasa
dimaksudkan untuk menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan, hal itu
pernah dilakukan Gandhi dalam masalah penyelesaian antara pemilik perusahaan
tenun dengan para buruhnya di Ahmedabad.
2.3.3 Swadesi
Pengertian swadesi adalah cinta tanah air sendiri,
cara mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya adalah mengabdi kepada
lingkungannya sendiri lebih dahulu. Gandhi secara jelas memberikan urutan swadesi ini, yaitu pengabdian diri untuk
keluarga, pengorbanan keluarga untuk
desa, desa untuk negara, dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Ghandi agar swadesi ditaati untuk menciptakan
ketentraman dunia, sedangkan pengingkaran terhadapnya mengakibatkan kekacauan.
Pelaksanaan swadesi ini antara lain
sebisa-bisanya agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak
membeli barang-barang import, bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam
negeri sendiri.
Melihat
situasi dan kondisi waktu itu memungkinkan untuk melaksanakan anti import
barang- barang asing sebagai protes dan boikot terhadap kaum penjajah. Situasi
dan kondisi sekarang sudah berbeda. Sekarang era globalisasi dimana antara satu
negara dangan negara yang lain sudah tidak ada batas dalam berbagai macam bidang, termasuk bidang ekonomi dan
perdagangan. Suatu negara yang menutup diri terhadap negara lain maka akan
diisolir atau dikucilkan oleh dunia. Jadi kerjasama antar negara tidak bisa
dihindarkan lagi. Unsur positif dari swadesi
yang bisa dipetik adalah agar suatu bangsa tidak tergantung sepenuhnya pada
negara lain atau pada suatu badan dunia seperti IMF misalnya, karena masing
–masing negara mempunyai kedaulatan untuk menentukan kesejahteraan bangsanya.
2.3.4 Hartal
Hartal adalah semacam pemogokan nasional, toko-toko
dan urusan dagang ditutup sebagai protes politik, para pekerja melakukan
pemogokan. Pertama kalinya Gandhi memutuskan untuk menentang pemerintah
kolonial Inggris di India. Ia memutuskan melaksanakan dengan hartal. Ia mengatakannya suatu hari
agar kegiatan dagang dihentikan, toko-toko tutup, pekerja-pekerja mogok. Hartal ini merupakan permulaan dari
perjuangan selama 28 tahun, yang akhirnya dapat mengakhiri penjajahan Inggris
atas bangsa India. Hartal dilakukan
oleh rakyat India sebagai sebuah protes politik, namun hari-hari mogok itu
dihabiskan dengan berpuasa dan kegiatan keagamaan lainnya. Situasi dan kondisi
waktu itu memungkinkan dilakukannya hartal secara efektif, untuk memboikot
tindakan sewenang-wenang kaum penjajah. Pada situasi dan kondisi sekarang,
dampak hartal akan berbeda. Pemogokan
di bidang ekonomi akan membuat perekonomian suatu negara menjadi lumpuh, dan
merugikan negara itu sendiri. Demikian pula pemogokan di bidang medis akan
membahayakan nyawa banyak orang yang sedang dirawat dan membutuhkan pertolongan
segera.
2.4 Prinsip
Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan Yang Dianut Oleh Mahatma Gandhi
Gandhi
menjadikan ashram (tempat atau wilayah) yang dibangunnya sebagai tempat
eksperimen dari ajaran-ajaran, prinssip-prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan
yang dianutnya, ternyata eksperimennya itu dapat diterapkan dan terbukti
berhasil menciptakan masyarakat ideal yang anti kekerasan. Ajaran, prinsip atau
nilai-nilai kemanusiaan itu dituangkan dalam bentuk peraturan hidup (etika) di
ashram yang jumlahnya 11 butir (ekadasavrata)
yaitu :
2.4.1 Sat (Kebenaran)
Istilah Sat merupakan dasar dari kata
satya yang artinya ada atau kebenaran. Bahkan mengartikan Kebenaran sebagai
Tuhan. Ada merupakan suatu konsepsi tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup,
yang dialami dan rasakan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hidup itu
benar-benar ada, nyata dan bukan impian.Yang nyata dan yang ada itu semata-mata
adalah kebenaran.
Dalam komunitas ashram, kebenaran tidak
hanya dalam pengertian berkata jujur atau tidak berdusta, melainkan harus
terdapat pada semua segi, yakni pikiran, ucapan dan tindakan. Mengejar
kebenaran merupakan bhakti sejati (pengabdian) yang mengarahkan orang kepada
Tuhan. Bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan itu sendiri, sehingga pencarian dan
pengabdian atas kebenaran dengan sendirinya mengandung arti sebagai pengabdian
dan pencarian atas Tuhan. Dharma atas kebenaran tersebut haruslah ditempuh
melalui sikap nirbaya (keberanian), keuletan, dan sikap tidak mudah menyerah.
Penekanan kepada kebenaran sebagai
bhakti merupakan nilai normatif yang harus dijalankan oleh setiap warga dalam
ashram. Pengertian Kebenaran dalam perspektif Gandhi mengandung keselarasan
dari tiga unsur yaitu pikiran, ucapan dan tindakan. Keselarasan dari ketiga
unsur tersebut menjamin terselenggaraannya kehidupan setiap warga dalam
ketaatan pada kehidupan.
2.4.2
Ahimsa (Kasih Sayang)
Pengabdian kepada kebenaran harus tetap
mengandalkan sikap ahimsa (kasih sayang) terhadap sesama sekaligus terhadap
makhluk lainnya. Ahimsa mengandung pengertian “tidak menyakiti”. Bagi Gandhi
(1981: 40) makna harfiah ahimsa tersebut merupakan suatu sikap tidak menyakiti
manusia mana pun, baik pikiran, ucapan maupun tindakan, sekalipun konon untuk
kepentingan manusia itu sendiri.
Pemahaman ini pada dasarnya memberikan
suatu perspektif baru mengenai perilaku tidak menyakiti manusia lain, yaitu
bahwa manusia harus menghindarkan diri dari setiap kegiatan yang membuat orang
merasa tersakiti, baik secara fisik maupun secara psikis. Setiap perilaku yang
berujung pada proses untuk menyakiti orang lain dengan sendirinya harus
ditolak. Inilah bagi Gandhi sebagai intisari dari ajaran ashram.
Prinsip ahimsa ini harus dijalankan
dalam aktivitas keseharian manusia, utamanya dalam kehidupan dalam ashram.
Prinsip ini merupakan bentuk dari dasar bagi pencegahan terjadinya konflik
dalam masyarakat, karena konflik tersebut muncul oleh perilaku menyakiti
manusia lain dengan cara apapun. Apabila setiap anggota masyarakat mematuhi
prinsip ini niscaya konfiks yang muncul dapat di minimalisir.
2.4.3 Brahmacarya
Pada dasarnya Brahmacarya mengandung
pengertian sebagai suatu sikap yang harus disesuaikan dengan proses pencairan Brahma,
yakni kebenaran. Secara etimologi, makna tersebut berasal dari kata Brahma yang berarti kebenaran, dan charya yang diartikan sikap. Jadi
Brahmacarya lebih ditekankan pada perilaku dari setiap manusia untuk selalu
bersikap sesuai dengan kebenaran itu sendiri.
Brahmacarya dikemukakan oleh Gandhi
disadari memang berbeda dengan kata brahmacarya yang berkembang di India pada
umumnya. Brahmacarya diartikan sebagai kesucian yang mutlak melalui penguasaan
terhadap nafsu hewaniah. Bagi Gandhi, Brahmacarya sebagai suatu prinsip ketiga
dalam ashram lebih dari sekedar penguasaann nafsu hewani, melainkan juga
mencakup penguasaan terhadap indria yang terdapat di dalam diri manusia.
Dalam pengertian ini Gandhi membuat
suatu pemahaman bahwa dengan tidak melayani kebutuhan indra, maka benda-benda
indra itu akan hilang dengan sendirinya, tetapi rasa rindu terhadap benda-benda
tersebut akan tetap muncul. Rasa rindu tersebut akan sirna dengan sendirinya
dengan usaha untuk selalu mendekatkan diri pada Brahmacarya yang di pahami oleh
Gandhi.
2.4.4
Penguasaan Rasa lidah
Prinsip ini berhubungan sangat erat
dengan Brahmacarya, karena penguasaan rasa lidah pada dasarnya merupakan
perilaku yang membantu tercapainya kualitas kemanusiaan menuju pada brahma.
Penguasaan terhadap lidah terjadi dalam banyak hal salah satunya berkaitan
dengan upaya untuk menghindarkan diri dalam berbagai bentuk makanan secara
berlebihan, baik soal selera makanan maupun mengubah orientasi makanan menjadi
suatu kenikmatan .
Dengan demikian, arti makan sekadar
sebagai sarana bukan tujuan hidup manusia. Oleh karena itu setiap penghuni
ashram diharapkan menghindarkan diri makan daging dan alcohol serta makanan
yang membangkitkan nafsu. Mengkonsumsi makanan yang telah ditentukan merupakan
iktihar dari setiap warga dalam ashram untuk tidak memenuhi tuntutan duniawi
semata-mata.
2.4.5
Asteya
(Tidak mencuri)
Prinsip
tidak mencuri merupakan suatu prinsip kelima yang harus dijalankan oleh warga
ashram. Tindakan mencuri merupakan sebuah pantangan bagi orang yang memperjuangkan
dan membela kebenaran. Mencuri merupakan suatu tindakan yang merugikan orang
lain, minimal ia menyakiti orang lain karena kehilangan harta miliknya. Tindakan
mencuri adalah perilaku yang merusak sosialitas dalam ashram, karena akan
memunculkan sikap yang saling curiga. Jika di diamkan hanya akan melahirkan
suatu tidak kondusif bagi perjalanan selanjutnya dan perjalanan kehidupan di
ashram.
Prinsip ini merupakan
suatu upaya untuk menghindarkan diri dari nafsu untuk menguasai sesuatu yang
bukan menjadi milik haknya. Andaikata setiap orang memiliki dan menjalankan
prinsip-prinsip ini, maka keserakahan yang biasanya menjadi realitas dapat
diminimalisir bahkan di hentikan potensi perkembangannya
2.4.6
Aparigraha
(Memilih hidup dalam kesederhanaan)
Prinsip ini merupakan
pengembangan lebih luas dari prinsip asteya, yaitu upaya manusia warga ashram
untuk menghindarkan diri kepemilikan barang atau benda yang tidak di perlukan
sekaligus yang bukan menjadi miliknya. Melalui prinsip ini pula , Gandhi
membuat suatu permakluman bahwa setiap warga dilarang untuk menyimpan suatu
keperluan masa yang akan datang. Pelarangan ini mengandung arti agar setiap
orang mempunyai kesempatan untuk memeperoleh bagian, dan tidak terjadinya suatu
monopoli barang atau yang dapat merusak hubungan antar warga. Monopoli hanya
akan menimbulkan kecemburuan sosial dan sekaligus kesenjangan sosial dalam
sosialitas pada ashram.
Prinsip ini sesungguhnya merupakan suatu
sikap mental agar setiap warga ashram memiliki kemampuan untuk saling
memerhatikan sesama, tidak serakah dan tidak terlalu menjadikan hidup itu suatu
orientasi kepada kebutuhan-kebutuhan fisik saja.
Disini juga di tekankan
pada sosialisme, Sosialisme adalah suatu kata yang indah dan sejauh dari apa
yang disadarinya, dalam paham sosialisme semua anggota masyarakat sama, tidak
ada yang rendah dan tidak ada yang tinggi.
2.4.7
Karya
pangan
Prinsip ini berkaitan
dengan prinsip asteya yang menekankan pada dan aparigraha. Prinsip karya tangan
merupakan suatu upaya untuk memenuhi sikap hidup yang mengutamakan asteya dan
aparigraha, yaitu dengan menjalankan usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidup sendiri, usaha mandiri tanpa melakukan pencurian, penaataan asteya dan
aparigraha hanya dapat ditunjang dengan melaksanakan karya pangan.
Pemenuhan kebutuhan
sendiri melalui karya pangan merupakan suatu kewajiban moral bagi setiap warga
yang sehat. Kewajiban ini merupakan suatu prinsip hidup agar tidak
menguntungkan dirinya dan warga ashram terhadap orang lain. Karya pangan menjadi
wujud dari bentuk kemandirian, konsekuensi logisnya menjadi suatu kekuatan bagi
tumbuhnya masyarakat sipil dengan kemampuan untuk mengelola dan mencukupi
kebutuhan sendiri.
2.4.8
Swadesi
Pada
dasarnya mengandung suatu pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang
memiliki kekuasaan penuh. Manusia masih memiliki batas-batas kekuasaan yang
membuat dirinya memiliki banyak kelemahan. Atas dasar ini, pengabdian manusia
kepada masyarakat sebaik-baiknya hanya dapat dilaksanakan ketika mereka
melakukan pengabdian kepada lingkungannya sendiri lebih terdahulu.
Dalam konteks ini Gandhi memberikan
urutan pemenuhan swadesi melalui pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan
keluarga untuk Desa, desa untuk Negara, dan Negara untuk kemanusiaan. Urutan
tersebut mengindikasikan bahwa pengabdian paling utama bagi warga ashram untuk
pengabdian bagi kemanusiaan. Kemanusian menjadi inti semua bentuk pengabdian,
melalui pengabdian ini maka diharapkan setiap warga memiliki kepekaan sosial
atas setiap bentuk penderitaan sekaligus upaya melakukan pembebeasan umat
manusia dari setiap penindasan dan ketidakadilan.
2.4.9
Nirbaya
( Tidak mengenal takut)
Situasi
politik yang tidak menentu ditengah penindasan masyarakat India akibat
kekejaman colonial, membuat Gandhi menganjurkan suatu anjuran Nirbaya, yaitu
suatu sikap untuk tidak pernah mengenal rasa takut, terhadap kekuatan apapun.
Prinsip ini melahirkan suatu semangat yang sangat luar biasa bagi warga ashram
untuk menunjukan keberanian dan jiwa patriotismenya melawan pemerintahan
colonial Inggris. Bagi Gandhi setiap warga India harus di hilangkan perasaan
takutnya untuk berani berbicara dan berpendapat di muka umum, sekalipun
menuntut di hilangkannya ketidak adilan bagi warga.
Rasa
takut yang diajurkan oleh Gandhi hanyalah rasa takut kepada Tuhan. Untuk
menemukan rasa takut itu dan menghilangkan rasa takut tersebut. Gandhi
menganjurkan agar di mulai dengan penaklukan rasa takut dalam diri sendiri.
Penaklukan tersebut pada akhirnya akan menghilangkan rasa takut dari luar.
2.4.10
Menghapuskan
Rasa Emoh bersentuhan
Prinsip
ini pada dasarnya merupakan bentuk penghapusan kelas-kelas sosial dalam
masyarakat Hindu di India selama ini dalam masyarakat Hindu di India terjadi
persoalan yang mendasar berkaitan dengan pengeliminisasian dan peminggiran
kelas-kelas sosial tertentu berdasarkan kelahiran dan keturunan, atau yang
disebut dengan kasta. Kasta yang lebih tinggi seolah lebih mulia sehingga
dilarangdilarang bersentuhan dengan kasta yang lebih rendah. Realitas ini bagi
Gandhi dianggap bertentangan dengan prinsip ahimsa dengan kodrat manusia yang
dilahirkan dalam keadaan suci.
Prinsip ini mengandung
suatu bentuk penghargaan atas kodrat kemanusiaan sebagai makhluk yang
sederajat, tidak boleh terjadi berbagai bentuk diskriminasi dalam bentuk
apapun. Prinsip ini seolah mengindikasi suatu bentuk jaminan bagi demokrasi dalam
masyarakat yang liberal yang memiliki prinsip : netralitas, kebebasan, dan
kesetaaraan dalam berbagai bidang.
2.4.11
Toleransi
Toleransi merupakan
prinsip terakhir dalam ashram. Toleransi merupakan perluasan dari sikap hidup
tidak melakukan proses diskriminasi dalam masyarakat. Artinya dalam masyarakat
ashram yang berasal dari berbagai komunitas yang menjalankan prinsip toleransi
dan tidak saling membeda-bedakan terhadap agama-agama yang ada. Gandhi berpandangan
bahwa semuanya mengandung wahyu kebenaran, namun kerena agama-agama tersebut
garis besarnya dibuat oleh manusia yang tidak sempurna, maka
keyakinan-keyakinan itu dipengaruhi oleh ketidaksempurnaan tersebut dan
kebenaran tersebut menjadi tidak mutlak keberadaannya.
Kalau ditinjau lebih
mendalam, pada dasarnya ketidaksamaan tersebut memberikan sikap Gandhi agar
setiap manusia mengembangkan sikap toleransi, yakni menghormati
keyakinan-keyakinan yang dianut oleh orang lain.
2.5
Gaya
Kepemiminan Mahatma Gandhi
Gaya
kepemimpinan dapat dikatakan sebagai batasan atau norma perilaku pemimpin
selama proses mempengaruhi orang lain. Masing-masing pemimpin akan menggunakan
gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan karakter pemimpin dan
situasi dalam kelompoknya (konteks organisasional). Dalam hal ini, gaya
kepemimpinan Mahatma Gandhi tersebut dapat dikatakan sebagai gaya kepemimpinan
karismatik.
Gaya
kepemimpinan karismatik merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang mampu
membuat suatu perubahan besar terhadap bawahannya didasarkan pada pengaruh yang
dilakukannya, yang mana pemimpin menciptakan atmosfir motivasi atas dasar
komitmen dan identitas emosional terhadap visi, filosofi, dan gaya
kepemimpinannya ke dalam diri bawahannya. Bahkan sebagian orang memandang
pemimpin karismatik sebagai pahlawan atau sosok yang menginspirasi bawahannya,
sekalipun dirinya sudah meninggal dunia. Dengan demikian, seorang pemimpin yang
dianugerahi kekuatan karismatik dan kemampuan untuk memotivasi orang lain
cenderung lebih mudah untuk menggerakkan bawahannya agar mencapai kinerja yang
optimal. Pemimpin tersebut akan diterima dan dipercaya sebagai orang yang
dihormati dan ditaati secara sukarela, sehingga bawahannya akan mematuhi dan
meniru pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit perubahan. Berdasarkan
penjelasan tersebut, gaya kepemimpinan karismatik Mahatma Gandhi ditunjukkan
dengan adanya pengaruh ajaran Satya dan Ahimsa yang kuat terhadap rakyat India
dan orang-orang di luar India, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi
mereka untuk memperjuangkan kemerdekaannya dengan menerapkan prinsip-prinsip
yang telah diajarkannya. Gandhi menyelipkan visi misi dan filosofi hidup ke
dalam tujuan-tujuan ideologisnya dengan menggunakan daya tarik pribadinya
(kekuatan karismatik), sehingga Gandhi mampu menghubungkan visi kelompok dengan
nilai-nilai, cita-cita dan aspirasi rakyat India yang mengakar kuat ke dalam
komitmen dan identitas emosional para pengikutnya.
Hasil
dari penerapan gaya kepemimpinan Gandhi terhadap orang yang dipimpinnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
2.5.1 Menyampaikan sebuah visi yang menarik
Gandhi mengajukan visi yang mampu
menginspirasi pengikut dan orang lain yang mengenalnya. Selama perjuangan
kemerdekaan India, Gandhi memiliki visi “Menegakkan Kebenaran Tanpa Kekerasan”
(Prinsip Satyagraha-Ahimsa). Pada
dasarnya, tipe pemimpin karismatik dibedakan menjadi dua tipe yaitu karismatik
visioner dan karismatik di masa krisis. Berdasarkan visi tersebut, Mahatma
Gandhi cenderung memiliki gaya kepemimpinan karismatik visioner, dimana dirinya
memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk bangsanya dan mencapai tujuan
tersebut melalui penerapan prinsip Satyagraha-Ahimsa.
2.5.2 Menggunakan bentuk komunikasi yang kuat dan
ekspresif saat mencapai visi itu
Bentuk komunikasi Gandhi memiliki
daya tarik pribadi (kekuatan karismatik) tersendiri bagi orang yang
dipimpinnya. Para pengikutnya memandang Gandhi berani mengekspresikan karakter
pribadinya yang sangat inspiratif dan mampu menciptakan pengaruh yang kuat saat
mengajarkan prinsip-prinsip hidupnya kepada para pengikutnya. Gaya komunikasi
tersebut pun mampu mengantarkan Gandhi mencapai visinya, misalnya saat Gandhi
menulis surat kepada pemerintahan Inggris di Afrika Selatan dan menulis di
surat kabar dengan menggunakan gaya bahasa yang komunikatif, sehingga para
pembaca (penguasa) tersentuh dengan tulisan Gandhi.
2.5.3 Mengambil
resiko pribadi dan membuat pengorbanan diri untuk mencapai visi itu
Pengorbanan diri dan pengambilan
resiko yang dilakukan Gandhi untuk mencapai visi ditunjukkan dengan keberanian
untuk melawan penguasa melalui gerakan perlawanan pasif-nonkooperatif melawan
hukum diskriminatif, serta melakukan aksi “demonstrasi damai” dan mogok kerja
yang diikuti oleh ribuan rakyat India.
2.5.4 Menyampaikan
harapan yang tinggi dan memperlihatkan keyakinan kepada pengikutnya
Harapan-harapan Gandhi tersebut
disampaikan melalui ajaran-ajarannya yang mampu membangkitkan semangat dan
keyakinan bagi para pengikutnya, seperti yang telah dicontohkan di atas. Gandhi
juga diberkahi keyakinan diri dan ketenangan. Keyakinan yang kuat dalam diri
Gandhi ditunjukkan melalui sikapnya yang tidak pernah takut terhadap ancaman
apapun dengan mengatakan, “Jika Tuhan
telah melindungi dari dalam, maka perlindungan dari luar tidak diperlukan.”
Hal tersebut berhasil menciptakan keyakinan yang kuat dalam diri para
pengikutnya untuk mencapai harapan tersebut.
2.5.5 Pembuatan role model dari perilaku yang konsisten
dari visi tersebut
Gandhi pun menjadi role model bagi para pengikutnya, apapun
yang dikatakan dan dilakukan akan ditiru dan dilaksanakan oleh para
pengikutnya. Para pengikut tersebut memandang perilaku dan ucapan Gandhi
sebagai bentuk perilaku yang konsisten akan visi mereka. Salah satu contohnya
adalah saat Gandhi menerapkan ajarannya untuk melawan penjajah Inggris dengan
cara menggabungkan prinsip Satyagraha dan Ahimsa, sehingga terbentuklah
militant-tanpa kekerasan, perang tanpa kekerasan.
2.5.6 Mengelola
kesan pengikut terhadap pemimpin
Perilaku dan ajaran yang disampaikan
oleh Gandhi tersebut mampu mendorong para pengikutnya tergabung dalam
gerakannya secara sukarela. Bahkan seorang Mahatma Gandhi pun mampu mengubah
Motilal Nehru yang terbiasa dengan kemegahan menuju sifat kesederhanaan.
Karisma yang diberikan Gandhi tersebutlah yang mampu membuat para pengikutnya
merasa terkesan sehingga mengikuti setiap ajarannya. Hal tersebut juga
ditegaskan dalam tulisan Copley (1987) yang mengatakan, “Pengaruh moral Gandhi terhadap para pengikutnya sangat menakjubkan.”
2.5.7 Membangun
identifikasi dengan kelompok atau organisasi
Gandhi membangun identifikasi
kelompok melalui sikap nasionalisme dan patriotis kepada para pengikutnya
melalui pandangannya tentang kemerdekaan India. Gandhi menyatakan bahwa
kemerdekaan tersebut merupakan milik semua orang India, terlepas dari ras,
agama, kasta atau warna yang berbeda, karena semua rakyat India hidup dalam
persahabatan yang sempurna serta berhak memperjuangkan dan menikmati
kemerdekaan tersebut. Pada akhirnya, hal tersebut pun mampu menyatukan rakyat
India.
Kelebihan
Kepemimpinan Karismatik Mahatma Gandhi
1.
Bersifat visionary, inspirational, decisive, performance oriented, dan high
levels of personal integrity.
2.
Karisma (daya tarik) yang
ditunjukkan Gandhi mampu mengubah pandangan atau perilaku dari bawahannya serta
menggerakkan mereka menuju visi yang telah disampaikannya. Hal tersebut membuat
Gandhi berhasil menyatukan rakyat India untuk memperjuangkan hak-haknya dan
meraih kemerdekaan (menegakkan kebenaran tanpa kekerasan).
3.
Gandhi dapat menjalankan visi misi
kelompok melalui perilaku kepemimpinannya serta mampu menciptakan pengaruh yang
memberikan dampak positif bagi para pengikutnya, seperti menginspirasi
bawahannya, sehingga memunculkan semangat atau motivasi yang tinggi, dan
membuat bawahan menjadi bagian dari kepemimpinan Gandhi.
4.
Sesuai untuk diterapkan dengan latar
belakang budaya dan situasi sosial yang sangat berisiko di India saat itu. Gaya
kepemimpinan karismatik yang ditunjukkan Gandhi mampu mengatasi persaingan
dalam dunia politik, mengobarkan semangat juang saat perang kemerdekaan India,
dan saat menghadapi persaingan agama atau krisis yang mengancam bagi
kelangsungan hidup rakyat India.
Kelemahan
Kepemimpinan Karismatik Mahatma Gandhi
1.
Cenderung mengembangkan kombinasi
hubungan pemimpin-bawahan dengan menggunakan atribut-atribut yang disenangi
bawahan, sehingga kurang terlihat memberikan delegasi atau wewenang kepada
bawahan. Gaya kepemimpinan ini kurang cocok bila diterapkan secara murni dalam
dunia pemerintahan atau pucuk pimpinan suatu negara (presiden), sehingga perlu
dipadukan dengan gaya kepemimpinan transformasional.
2.
Kurang efektif bila diterapkan dalam
kondisi pemerintahan yang sudah melewati masa krisis, karena bawahan juga
membutuhkan arahan yang membawa mereka menuju implementasi visi yang mampu
memimpin dirinya sendiri dan berbuat lebih dari yang ditargetkan, bukan hanya
pandangan pribadi.
3.
Terkadang
Gandhi kurang menyadari dirinya telah menempatkan prinsip hidup atau tujuan
pribadi terlalu tinggi sehingga terkesan berada di atas pandangan kelompok.
Akibatnya, Gandhi tidak menyadari bahwa dirinya dipandang terlalu membela
Muslim hingga seseorang merasa kesal dan berhasil menembaknya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mengkordinasikan dan mengarahkan beberapa orang serta
golongan. Maka pimpinan itu harus mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasikan,
mengadakan perencanaan, mampu menggerakkan serta dapat melakukan pengawasan.
Salah satunya adalah kepemimpinan Mahatma Gandhi. Mohandas
Karamchand Gandhi (Mahatma Gandhi) lahir di Porbandar, Gujarat, India pada
tanggal 2 Oktober 1869 dan wafat di New Delhi, India pada tanggal 30 Januari
1948 pada umur 78 tahun. Beliau adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus
dari India yang sangat berpengaruh. Ajarannya menekankan pada perjuangan
kemerdekaan harkat hidup manusia dan pemberontakan tanpa menggunakan kekerasan.
Ajaran Gandhi
yang pertama adalah Ahimsa. Kata Ahimsa berarti tidak menyakiti. Menurut Gandhi
ahimsa berarti menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa,
tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari
keuntungan diri sendiri dengan memperalat serta mengorbankan orang lain. Jadi
ahimsa adalah dasar dan pedoman bertindak untuk mencari kebenaran. Bagi
pencinta dan pembela kebenaran harus bersifat dinamis, artinya tidak boleh
cepat puas dengan hasil yang dicapainya.
Ajaran
Gandhi kedua adalah Satyagraha adalah kata Sanskerta yang merupakan gabungan
dari kata satya dan agraha yang berasal dari akar kata grah yang berarti menangkap,
mencengkeram, memegang, bergulat dengan. Secara harfiah satyagraha berarti suatu pencarian kebenaran dengan tidak kenal
lelah dan suatu ketepatan hati untuk mencapai kebenaran.
Ajaran
ketiga adalah swadesi adalah cinta
tanah air sendiri, cara mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya adalah
mengabdi kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Ajaran terakhir ialah
Hartal adalah semacam pemogokan
nasional, toko-toko dan urusan dagang ditutup sebagai protes politik, para
pekerja melakukan pemogokan.
Sedangkan
prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan itu dituangkan dalam bentuk peraturan
hidup (etika) di ashram yang jumlahnya 11 butir (ekadasavrata) yaitu : Sat (kebenaran), ahimsa (kasih sayang),
brahmacarya (penguasaan indera), penguasaan rasa lidah, asteya (tidak mencuri,
aparigraha (memilih hidup dalam kesederhanaan), karya pangan, swadesi, nirbhaya
(tidak mengenal takut), menghapuskan rasa emoh bersentuhan, toleransi.
Gaya
kepemimpinan karismatik Mahatma Gandhi ditunjukkan dengan adanya pengaruh
ajaran Satya dan Ahimsa yang kuat terhadap rakyat India dan orang-orang di luar
India, sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi mereka untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah diajarkannya.
Gandhi menyelipkan visi misi dan filosofi hidup ke dalam tujuan-tujuan
ideologisnya dengan menggunakan daya tarik pribadinya (kekuatan karismatik),
sehingga Gandhi mampu menghubungkan visi kelompok dengan nilai-nilai, cita-cita
dan aspirasi rakyat India yang mengakar kuat ke dalam komitmen dan identitas
emosional para pengikutnya.
3.2 Saran
Membangun
masyarakat teladan yang ideal, seperti telah disebutkan di atas, adalah
membangun setiap subjek atau manusianya, dan pembangunan manusia tidak dapat
lain, kecuali menanamkan pendidikan budi pekerti dan moralitas sejak anak-anak,
menjauhkan dari kebencian, kekerasan, iri hati, kesederhanaan, disiplin diri,
sembahyang, puasa, dan penghargaan. Dalam kalimat yang singkat adalah
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dan universal. Bila aturan
hidup, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diajarkan Gandhi diikuti
oleh seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia, maka niscaya
masyarakat anti kekerasan akan dapat diwujudkan, dengan demikian ancaman
terorisme dan sejenisnya yang diekspresikan melalui tindak kekerasan dapat
diatasi dan dicegah sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Mahendra, Oka. 2001, Ajaran Hindu Tentang Kepemimpinan, Konsep
Negara dan Wiweka. Denpasar : Manik Geni
Suhardana, K.M. 2008, Niti Sastra Ilmu Kepemimpinan Atau
Management Berdasarkan Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Wirawan, A.A Bagus,
dkk. 1995, Dharma Agama dan Dharma Negara.
Denpasar : BP
Wisarja, I Ketut.
2007, Gandhi Dan Masyarakat Tanpa
Kekerasan. Surabaya : Paramita