Jumat, 13 Juli 2018

Ayodhya Kanda dalam Epos Ramayana


BabI
Pendahuluan
11.1   Latar Belakang
Kesusastaraan secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti ‘semua yang berkaitan dengani, prefiks su ‘baik, indah, berguna’ dan bentuk dasar sastra yang berarti ‘kata, tulisan, ilmu’.Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Salah satu contoh dari Kesusastraan Hindu adalah Itihasa.
Itihasa berasal dari tiga suku kata yaitu, Iti, Ha, Asa. Iti berarti begini, Ha berarti tentu, dan Asa berarti terjadi. Jadi Itihasa adalah cerita ini adalah memang sudah terjadi begini atau benar-benar terjadi. Itihasa dapat disebut dengan Wiracarita. Wiracarita yaitu cerita-cerita tentang kepahlawanaan. Itihasa merupakan bagian dari Weda , terletak pada Weda Smerti. Itihasa merupakan cabang ilmu kitab suci Hindu terutama yang termasuk dalam kelompok Upaweda . Jenis itihasa merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana terdiri dari tujuh kanda, yaitu Bala Kanda, Ayodhya Kanda, Aranya Kanda, Kiskinda Kanda, Sundari Kanda, Yudha Kanda, dan Uttara Kanda. Dalam  makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Ramayana, bagian kedua yaitu Ayodhya Kanda. Ramayana disusun oleh Maha Rsi Walmiki . Ramayana merupakan sumber hidup dari etika dan kebudayaan. Isi epos Ramayana disamping mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan , juga tidak sedikit epos ini menyimpan ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahaan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan social, serta ajaran-ajaran agama yang semuanya sesuai dengan kondisi Indonesia.
Ayodha Kanda dimulai dengan kisah tentang kembalinya Sri Rama dan Dewi Sita ke Ayodhya untuk dinobatkan sebagai Maharaja, namun dibatalkan oleh ayah andanya Prabu Dasaratha dari permintaan Dewi Kaikeyi. Dia meminta dua permintaan kepada Prabu Dasaratha yaitu, permintaan yang pertama agar putranya Bharata dinobatkan sebagai Maharaja di Kerajaan Ayodhya, dan permintaan keduanya agar Sri Rama diasingkan ke dalam hutan selama 14 tahun.



11.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana isi cerita dari Ayodhya Kanda dalam Epos Ramayana?
2.      Bagaimana watak dari masing-masing tokoh dalam Ayodya Kanda Epos Ramayana?
3.      Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam Ayodhya Kanda?

11.3  Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahaui dan memahami isi dari Ayodhya Kanda dalam Epos Ramayana.
2.      Untuk mengetahui dan memahami watak dari masing-masing tokoh dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana.
3.      Untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Ayodhya Kanda.

Bab II
Pembahasan

2.2.1   Isi Cerita Dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
Kanda yang kedua Ramayana, mulai denga kisah tentang kembalinya Sri Rama Dan Sita ke Ayodya untuk dinobatkan sebagai maharaja, namun dibatalkan oleh ayahandanya Prabhu dasaratha, terdiri dari 119 sargah masing-masing menguraikan :
Raja Bharata beserta Satrugna menuju ke ibukota kerajaan pamannya dari pihak ibu. Maharaja merencakan menobatkan putranya Sri Rama sebagai raja pengganti dan mengundang beberapa raja bawahannya untuk membahasnya.
Maharaja Dasarata meyampaikan hal tersebuut di persidangan agung dan akan menyerahkan sepenuhnya kekuasaannya kepada Sri Rama dan seluruh penasehat kerajaan dan hadirin sepakat untuk maksud tersebut dan bahkan maharaja mendesak supaya segera dilaksanakan penobatannya.
Didesak oleh maharaja untuk segera menyelenggarakan upacara penobatan Sri Rama sebagai raja pengganti Maharaja Dasarata, Maharsi Vasistha memerintahkan patihnya Sumantra dan yang lain-lain, untuk segera mempersiapkan keperluan untuk acara tersebut. Sementara semua orang mempersiapkan peralatan upacara di bawah pimpinam Sumatra, Sri Rama menghadap ayahanda maharaja yang telah mengumumkan rencana penobatan tersebut untuk mendapatkan berbagai petunjuk. Sri Rama menerima nasehat pula dari ibunya Dewi Kausalya seperti halnya nasehat dari ayahanda maharaja dan dengan sujud Sri Rama memberi penghormatan kepada ibunya kemudian meninggalkan menuju istana putra mahkota, tempatnya sehari-hari.
Khawatir terjadinya halangan terhadap penobatan Sri Rama lewat mimpi yang tidak menyenangkan, Maharaja Dasarata segera memanggil Sri Rama untuk melakukan beberapa pantangan, untuk menyucikan diri (puasa tertentu) bersama Dewi Sita sebelum acara penobatan berlangsung. Atas seijin Maharaja Dasarata menenmui ibunya Dewi Kausalya, setelah memperoleh restunya, Sri Rama beserta Dewi Sita meninggalkan tempat ibundanya segera kembali ke peraduannya.
Di tempat Maharaja Dasarata, Maharsi Vasistha memanggil Sri Rama bersama Dewi Sita untuk segera melakukan puasa semalam suntuk. Maharaja menunda sebentar acara sidang dan istirahat di peraduannya.
Atas perintah Maharsi Vasistha, Sri Rama segera mandi pagi keesokan harinya, melakukan pemujaan kepada para Dewata dan malam sebelumnya tidur diatas tempat tidur berupa alas rumput kusa (alang-alang). Ketika pagi-pagi benar telah bangun keesokan harinya, Sri Rama melakukan sembahyang rutinnya (Sandya) dan memohon restu kepada para pandita untuk hari yang dirakhmati itu. Seluruh warga kota Ayodhya menghias kotanya dengan berbagai dekorasi yang indah, menandakan akan adanya festival yang meriah dan tampak gerombolan masyarakat yang ingin segera menyaksikan upacara penobatan Sri Rama sebagai raja pengganti ayahandanya. Menyaksikan persiapan demikian meriah dan tampak pula Dewi Kausalya memberikan cukup banyak dana (sebagai penghormatan) kepada para Brahmana, Manthara, seorang abdi wanita yang tubuhnya bengkok sejak kanak-kanak dan abdi setia dari Dewi Kaikeyi, yang kebetulan menyaksikan dari lantai atas istana, menyelidiki keadaan Sri Rama yang di masa lalu pernah dirawatnya. Mendengar rencana penobatan tersebut, Dewi Kaikayi di satu pihak merasa bergembira atas rencana penobatan tersebut dan merencakan untuk memberikan hadiah berupa berbagai permata sebagai tanda ikut bergembira.
Sememtara itu Manthara mencoba untuk mempengaruhinya, mendesak Dewi Kaikeyi untuk berusaha membatalkan penobatan tersebut dan penobatan itu terus berlangsung, akan menjadikan putranya sendiri, yakni Raja Muda Bharata memperoleh bencana, karena tidak memperoleh kedudukan sebagai pengganti Maharaja Dasarata. Manthara mendesak terus untuk dapatnya Kaikeyi membatalkan penobatan atas Sri Rama.
Dewi Kaikeyi, hatinya telah diracuni oleh kedengkian, terbujuk oleh desakan Manthara dan meminta kepada Maharaja Dasarata supaya mengusir Sri Rama dan menobatkan Bharata sebagai pengganti Maharaja Dasarata dan bertanya kepada Manthara bagaimana caranya mewujudkan keinginannya itu. Manthara menceritakan bagaiaman menarik pelajaran dari konflik antara para Devata dengan para raksasa dan Prabhu Dasarata memperoleh bantuan dari para Devata dan maharaja yang didampingi oleh istrinya dalam situasi yang sangat kritis di medan perang benar-benar mendapat bantuan dari istrinya itu, setelah selamat memberika dua anugrah yang pelaksanaannya ditunda sampai tepat waktunya. Manthara mendesak Dewi Kaikeyi karena saatnya sekarang sudah tiba, yakni pertama mengusir Sri Rama dan kedua menobatkan Bharata sebagai raja pengganti ayahanda maharaja. Ketika Kaikeyi menghadap Maharaja Dasarat membuang segala perhiasan yang dipakainya dan duduk di lantai, merajuk dan cemberut, memelas kepada maharaja untuk dipenuhi permintaannya.
Mendapat dampratan, patih Sumantra dan yang lain-lain yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya untuk penobatan Sri Rama, Maharaja Dasarata mendatangi Dewi Kaikeyi, yang menyampaikan kabar yang tidak bahagia tersebut kepadanya. Tidak dijumpai di tempat kediamannya, Mahraja Dasarata, ternyata Dewi Kaiketi sedang merajuk dikamarnya, Maharaja menghampirinya, mengangkat tubuhnya serta membujuknya.
Kaikeyi menghasut maharaja untyk segera memenuhi keinginannya, Maharaja Dasarata memenuhi janjinya. Sang prabhu memuji kebaikan Sri Rama dan membayangkannya sedang menjalani pengasingan, sang prabhu berusaha memohin ketabahan Kaikeyi agar tidak jadi mengirim Sri Rama ke pengasingan. Akan tetapi, dengan mengutip contoh dari harischandra dan yang lainnya, Kaikeyi melipatgandakan keinginannya. Sang prabhu sendiri memarahi Kaikeyi dengan kata-kata kasar dan memohon dengan sangat, namun sia-sia saja.
Merasa tersiksa oleh Kaikeyi karena desakannya untuk mendapat anugrah dari sang prabhu dikabulkan, belakangan beliau terus berusaha mendekatinya. Sementara matahari telah terbenam, snag prabhu terus berusaha sampai keesokan harinya memohon agar mengijinkan Sri Rama dinobatkan sebagai putra mahkota. Namun Kaikeyi tetap tak mau berubah, pikiran sang prabhu sangat menderita sampai tak sadarkan diri dilantai dan saat beliau siuman, menghentikan semua musik yang berhubungan dengan perayaan itu ketika beliau meninggalkan peraduannya.
Dengan mengutip hal-hal yang berkenaan denagn keteguhan hati sang prabhu pada kebenaran dan mengancam mengorbankan hidupnya, keinginannya tidak dipenuhi, Kaikeyi bersikeras mengirim Sri Rama ke pengasingan secepatnya dan tidak menghentikan niatnya sekalipun dicemooh oleh suaminya. Sementara itu Sumantra muncul di istana keputren dan terus memuji sang prabhu dan mengingatkan keinginannya untuk menobatkan Sri Rama sebagai putra mahkota dan akhirnya meninggalkan istana keputren agar memanggil Sri Rama demi sang prabhu.
Sementara keluar dari istana keputren memanggil Sri Rama, Sumantra bertemu Vasistha dan kawan-kawannya dan juga sejumlah raja yang menunggu di pintu depan dan mohon segeran melaporkan kehadira mereka kepada sang prabhu. Akan tetapi ia diingatkan lagi untuk menjemput Sri Rama dan dengan segera memasuki ruang istana berikutnya.
Melihat kehadiran Sri Rama, Sumantra menyapa beliau sebagaimana perintah sang prabhu untuk mengajak Sri Rama dan berangkat. Menunggu kereta emas yang ditemani Laksamana yang memegang oayung dibagian depan dan melambaikan sepasang camara (kipas pengusir lalat) untuk mengipasinya dan diiringi oleh sejumlah gajah dan kuda, Sri Rama mengemudikan kereta dalam kebesaran menuju Dasarat, sambil mendengarkan lagu kemuliaannya dalam perjalan yang dinyanyikan oleh laki-laki dan perempuan yang bersorak kegirangan.
Sri Rama naik kereta dala kebesaran menuju istana ayahnya, melihat keagungan Ayodhya dari kejauhan, mendengar restu dan pujian-pujian dari para sahabat dan kerabatnya dan mengerlingkan mata kepada penonton dans etelah sampai di tempat tujuan mengirim balik rombongannya untuk menyambut kehadiran yang mulian ayahnya.
Ditanya oleh Sri Rama apa yng menyiksa pikiran ayahnya, Kaikeyi menceritakan kepadanya semua yang terjadi dan dnegan keras mendesaknya berangkat ke hutan.
Setelah setuju berangkat kehutan, Sri Rama berangkat untuk memohon diri kepada ibunda Kausalya.Bahkan karena Sri Rama datang dari istana Ratu Kaikeyi, penghuni istana keputren tiba-tiba gaduh, memuji kebaikan pangeran. Ibunda kausalya memeluk dan memanjatkan doanya untuk Sri Rama dan sesaat kemudian ia bersimpuh di kaki ibunya. Setelah diberitahu tentang masalah yang terjadi yang membawa Sri rama datang ke ruangan ibunya, ibunya jatuh lunglai di lantai dirundung kesedihan dan mengangis tersedu-sedu mengungkapkan kesedihannya.
Setelah menghibur Kausalya yang tenagh berada dalam kesedihan atas pengasingan Sri Rama, Pangeran Laksamana menentang rencana Sri Rama untuk berangkat ke hutan dan mencela Dasarata, memutuskan menemmani kakaknya. Kausalya menghalangi Sri Rama pergi ke pengasingan dan mengatakan Kaikeyi berlaku tak adil, akan tetapi Sri Rama membenarkan perintah dengan alasan hal tersebut telah disetujui sang prabhu dan meinta ibunya merelakan kepergiannya dan melakukan upacara berkaitan dengan keberangkatannya.
Sri Rama menenangkan Laksamana yang marah kepada Kaikeyi, dengn menolak perbekalan yang diberikan Kaikeyi untuk pengasingannya dan menimpakan semua kesalahan sebagai nasibnya.
Karena marah sekali mendengar desakan Sri Rama, Laksaman menyarankan kata-kata ayahanda patut diabaikan karena tindaka itu jauh dari kebenaran, selanjutnya menekankan adanay dominasi kepentingan pribadi atas takdir, membujuk Sri Rama untuk menyingsingkan lengan melawan mereka yang campur tanga dalam acara penobatannya dan menduduki tahta dnega cara paksa. Namun Sri Rama menenangkan Laksamana dan mecamkan padanya akan perlunay melaksanakan perintah ayahnya.
Melihat Sri Rama patuh akan perintah ayahnya, kausalya (ibunda Sri Rama) mendesak Laksamana untuk menyertai Sri rama. Tetapi ketika dibetirahu, ibunda mengatakan adalah wajib bagi ibu untuk mematuhi dan melayani suami yang masih hidup, ia merestui keberangkatan Sri Rama ke hutan.
Setelah menerima restu untuk perjalannya, Sri Rama bersimpuh di kaki ibunya dan akhirnya berangkat menuju kamar Sita untuk menjenguknya. Melihat Sri Rama wajahnya muran dan tak bercahaya karena keputusasaan atas persetujuannya Sita yang tak tahu apa-apa tentang pembatalan penobatannya dan ingin tahu dan gembira sekali menunggu kedatanganya, ingin tahu oentyebab kekesalannya dan diberitahu bagaimana penobatannya dibatalkan da kenapa ia akan dikirim kepengasinagn oleh ayahnya dan mendesak untuk merawat ayah dan ibu mertua seperti sebelun]mnya dan memperlakukan Bharata dan Satrugna sebagai saudara atau anak sendiri dan tidak pernah menaruh kebencian kepada mereka.
Didesak oleh Sri Rama untuk tinggal di Ayodhya merawat orang tuanya, Sita menjawab, ia adalah bagian dari Sri rama karenanya ia bersikeras untuk turut serta sebab ia taka akan sanggup terpisah dari Sri Rama. Dengan mengajak Sita pulang ke pertapaan dan begitu menderitanya hidup di hutan, Sri Rama mencoba sekali lagi melarangnya dari keinginan untuk ikut serta ke hutan.
Sita terus memohon kepada Sri Rama agar bisa diajak ke hutan bersamanya, akan tetapi Sri Rama tidak berubah dan terus menghiburnya dan memintanya tinggal di Ayodhya.
Walaupun telah dihibur oleh Sri Rama dengan berbagai cara, Sita tidak mengubah pendiriannya dan melihat keteguhan hatinya untuk tetap ingin menyertainya, Sri Rama akhirnya mengijinkannya untuk turut serta ke hutan dan memintanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya serta memberikan semua milik pribadinya kepada Brahmana.
Setelah mendengar percakapan Sri Rama dengan Sita, Laksmana mohon ijin untuk turut serta ke hutan, akan tetapi Sri Rama menghendaki ia tetap tinggal di Ayodhya agar ada yang merawat ibunya. Melihat kesungguhannya, Sri Rama membolehkannya juga turut serta dan mendesaknya untuk mengajukan Suyajna dan Rsi-Rsi yang lain, menganggap mereka pantas menerima pemberian darinya.
Setelah menerima pemberian permata dan perhiasan dari Sri Rama dan Sita, Suyajna memohonkan doa restu suci untuk pasangan mempelai. Diperintahkan oleh Sri Rama, Laksmana lalu mendermakan busana sutra dan perhiasan dan lain-lain kepada putra Rsi Agastya dan yang lainnya. Didorong oleh istrinya, seorang rsi, Trijata namanya, mendekati Sri Rama untuk memohon harta kepada beliau. Sri Rama kemudian memberikan ribuan ekor lembu dan membagikan sisa hartanya kepada para Brahmana dan sanak saudaranya.
Setelah membagi-bagikan harta kepada kaum Brahmana dan yang lainnya, Sri Rama ditemani Sita dan Laksmana menghadap ayahandanya untuk mohon diri. Bahkan Sri Rama tetap tenang mendengarkan berbagai perbincangan warganya yang berkumpul di sepanjang perjalanan yang menyiratkan kesedihan yang mendalam pada wajah mereka, trio warga kerajaan itu telah mencapai tempat tujuan dan mendesak Sumantra memberitahu ayahandanya tentang sampainya disana.
Pemberitahuan tentang Sri Rama telah tiba dipengasingan oleh Sumantra, Dasaratha terhenyak dan pingsan mendengar kepergian Sri Rama dan istrinya. Menyadari sang Prabu jatuh tak sadarkan diri setelah tidak melihat ahli warisnya, para perempuan rumah tangga istana meratapi beliau dengan sangat memilukan. Ketika Sri Rama mohon diri untuk pergi ke tengah hutan sang Prabu melarangnya dan memintanya menjadi raja. Sri Rama tetap berusaha menghibur ayahnya dengan meyakinkan beliau ia tidak memiliki keinginan yang kuat atas tahta kerajaan dan mematuhi perintah ayahnya adalah hal terpenting. Namun Dasaratha lagi tak sadarkan diri karena teringat perpisahannya dengan Sri Rama, dan Sumantra serta semua perempuan yang ada di ruangan itu juga merasakan hal yang sama.
Berharap bahwa setelah dihasut memarah, Kaikeyi mungkin sadar kembali dan meredakan keinginannya untuk mengirim Sri Rama ke pengasingan, Sumantra mendekatinya, mengingatkannya akan kelakuan yang tidak baik ibunya kepada suaminya (ayah Kaikeyi). Akan tetapi Kaikeyi tetap pada pendirian dan tidak bergeser sedikit pun dari tujuannya semula.
Dasaratha memerintahkan Sumantra untuk mengambil sepasukan prajurit dan bendahara istana untuk menemani Sri Rama, namun Kaikeyi keberatan dan tetap berpegang bahwa Sri Rama harus dikirim ke pembuangan tanpa bekal apapun dengan membandingkan dengan Asamanja, putra nenek moyangnya, Sagara. Seorang menteri kerajaan, namanya Siddharta, yang hadir disana menentang Kaikeyi dan mengatakan bahwa analogi Asamanja, seorang anak laki-laki yang suka membantah, tidak dapat diberlakukan pada kasus Sri Rama, yang memiliki karakter ideal dan dengan alasan apapun berhak dinobatkan sebagai Putra Mahkota. Lain halnya dengan Dewi Kaikeyi yang menentang rencana sang Prabu mengancam untuk mendampingi ahli waris yang sah.
Sri Rama menyuruh pelayan mencari kulit kayu untuk digunakan sebagai pakaian. Padahal Kaikeyi sendiri sudah memberikan pakaian yang bagus, namun baik Sri Rama maupun Laksmana telah menanggalkan pakaian kerajaannya. Akan tetapi sulit bagi Sita untuk mengenakan pakaian dari kulit kayu dan akhirnya mengenakannya di luar pakaian biasanya dengan bantuan Sri Rama, meskipun mendapat protes dari Vasistha, yang memperingatkan Kaikeyi akan kekejaman untuk mengasingkan mereka.
Dasaratha menjadi marah mendengar ratapan mereka yang hadir setelah mendengar Sita mengenakan pakaian pertapaan, beliau pun mendekati Kaikeyi. Ketika berangkat, Sri Rama meminta ayahnya merawat ibunya. Karena diutus Dasaratha, Sumantra menyiapkan kereta perang untuk mengantarkan Sri Rama dan kawan-kawannya ke hutan dan Sita menghias dirinya dengan perhiasan yang dibawa oleh penasehat dan bendahara kerajaan. Kausalya member nasehat kepada menantunya dan dijawab dengan anggukan. Sri Rama menghibur Kausalya dan mohon maaf kepada ibu-ibunya yang lain yang meratapinya.
Dasaratha mondar-mandir, sebagai bukti rasa hormat Sita, Rama dan Laksmana menyapanya. Didampingi oleh Sita, Sri Rama memberi salam kepada Kausalya. Laksmana juga menyapa Kausalya lebih dulu dan kemudian ibunya sendiri, Sumitra. Sumitra menasehati putranya. Putra dan putri mahkota naik ke atas kereta, Sumantra mengendalikan kuda. Warga kerajaan yang telah berkerumun mengikuti kereta, namun tidak dapat menyamai cepatnya kereta, mereka kembali sunyi. Dasaratha juga menyusul kereta itu bersama Kausalya dan yang lainnya, namun karena tidak dapat melaju kelihatannya mulai terhuyung-huyung dan tiba-tiba berhenti yang mengundang protes dari para menteri yang bijaksana.
Para putri keraton meratapi pengasingan Sri Rama serta yang lainnya dan segenap warga Ayodhya juga menjadi begitu sedih. Sri Rama telah berangkat menuju hutab dengan laju kereta yang demikian cepat, Dasaratha sia-sia saja menyusulnya dengan berjalan kaki. Kereta yang demikian cepat menimbulkan debu yang tebal sesaat setelah lenyap, sang prabu merasa sangat sedih dan roboh ke tanah. Ketika Kaikeyi mendekati untuk memapahnya, beliau memakinya dan meminta jangan menyentuh dirinya. Kausalya lalu membangkitkannya dan membujuknya untuk kembali. Pelayan pribadinya mengajaknyakembali ke istana, melihat beliau jatuh dalam kedukaan, Kausalya duduk di samping sang prabu dan nilai meratapinya.
Ratapan Dewi Kausalya menyesali kejadian demi kejadian dan perpisahannya dengan putranya tercinta Sri Rama dan menantunya yang setia Dewi Sita. Membuktikan kebesaran Sri Rama, Sumitra seorang yang dulunya mahir berpidato, berusaha meresakan kesedihan Kausalya.
Ketika warga kerajaan yang mengikuti perjalanan Sri Rama ke hutan menolak untuk kembali bahkan ketika diminta oleh Sri Rama dengan berbagai cara, tidak mampu karena mereka tak mau berpisah dengan Sri Rama, Sri Rama beserta dan Laksamana turun dari kereta dan berjalan kaki. Warga kerajaan mencoba membelokkan perjalanan itu dan membujuk SriRama untuk kembali, namun sia-sia. Menjelang senja mereka tiba ditepian sungai Tamasa.
Setelah tiba di tepian sungai Tamasa dan memikirkan kesedihan rakyat Ayodhya, Sri Rama berbaring beralaskan dedaunan meratapi nasib ayahnya dan perasaannya menjadi lega karena yakin akan kemampuan Bharata. Sementara Sumantra bercakap dengan Laksamana tentang keluhuran budi Sri Rama. Setelah bangun, Sri Rama memerintahkan kusir kereta untuk menjalankan kereta sedemikian rupa hingga bisa juga mengangkut beberapa warga yang turut serta sehingga seolah-olah mengajak mereka kembali ke istana dan tidak merasa berjalan menuju hutan. Ia kemudian naik kereta ke kereta bersama Sita dan Laksamana dan menuju ke hutan.
Warga kerajaan yang telag mengikuti perjalanan Sri Rama ke hutan menemukan Sri Rama telah pergi dan saling mengungkapkan kekecewaan mereka. Untuk mengobati kesedihan mereka menelusuri jejak kereta, namun tak berhasil menemukannya, mereka tak berdaya untuk kembali ke Ayodhya dalam keadaan benar-benar patah semnagat.
Diberitau tentang keberangkatan Sri Rama oleh warga kerajaan yang ikut bersama Sri Rama dan kembali, karena kehilangan jejak keretanya, para istri mereka menyalahkan Kaikeyi dan larut dalam ratapan. Setelah menempuh perjalan panjang, Sri Rama mandi pagi dan melakukan pemujaan, dan setelah menyeberangi sungai-sungai di dalam kitab Vedasruti, Gomati dan Syandika, berbincang-binang dengan Sumantra.
Berdiri mengahdap kearah Ayodhya, Sri Rama mengucapkan selamat tinggal kepada tempat kelahirannya, menyuruh pulang warga yang berasal dari desa terdekat, yang sempat mengunjunginya, dan menyeberangi perbatasan Kosala, Sri Rama menuju lembah sungai Gangga. Begitu turun dari kereta di bawah pohon ingudi yang tumbuh di lemah itu, ia pergi menemui Guha, kepala desa Nisada, yang pernah menemuinya. Dan lebih dari itu, melakukan pemujaan di sore hari dan mengambilkan air (untuk makan dan minum), sang pangeran berbaring di atas tanah untuk beristirahat semalam. Sementara Sumantra, Guha dan Laksamana berbincang-bincang sepanjang malam.
Mengatakan kesiapannya untuk mengawal Sang Putra Mahkota dan permaisuri, melek semalam suntuk, Guha meminta dengan sangat kepada Laksamana untuk berisitirahat. Akan tetapi dengan mengingatkan Guha akan kebesaran Sri Rama, Laksamana mengatkan kepadanya bahwa sekali pun kewajban menjaga saudara dan istrinya dapat dipercayakan kepada Guha, ia merasa tidak pantas berbaring di samping kakak dan kakak iparnya dan lebih memilih untuk tetap terjaga. Ingat akan kesedihan ayahnya dan ibu yang disayanginya, karena itu melewatkan malam itu berbincang dengan Guha.
Sesaat akan naik ke atas perahu yang di bawah oleh anak buah Guha dan diminta oleh Guha jiika mereka membantu sang pangeran, Sri Rama memerintahkan supaya menghormati sang prabu. Didesak oleh Sumantra untuk mengantarkannya sebagai pelayan pribadi ke hutan. Sang pangeran menolak tawarannya yang simpati dan mengirimnya kembali ke Ayodhya. Dengan mengunci pintu perahu dari pengikut yang demikian banyak dengan getah pohon beringin yang dicarikan oleh Guha, Sri Rama dan Laksamana serta Sita menaiki perahu itu. Ketika sampai di pertengahan sungai, Sita besujud kepada Dewi Gangga (yang berstana di Sungai Gangga) dan stelah menyeberangi sungai ketiga orang itu berhenti di bawah sebuah pohon.
Memahami kesulitan yang dialami oleh Kausalya karena ulah Keikeyi, Sri Rama yang duduk di bawah pohon beringin membujuk Laksamana dengan kerendahan hati agar kembali ke Ayodhya. Akan tetapi Laksamana tidak mampu menjalani hidup tanpa kehadiran kakaknya dan tak akan bergeser sedikit pun dari kakaknya. Karena itulah Sri Rama menyerahkan sepenuhnya kepadanya untuk menemaninya selama pembuangan.
Dalam melanjutkan perjalanannya menuju hutan Dandaka dengan Sita dan Laksamana, saat menjelang petang Sri Rama sampai di pertapaan Bhagavan Bharadvaja dekat pertemuan dua Sungai Suci Gangga dan Yamuna. Karena rasa hormatnya kepada Sri Rama dan lain-lainnya, Bhagavan Bharadvaja menyarankan menumpang sementara di Citrakuta. Menghabiskan waktu semalam denagn perbincangan berbagai topik, bhagavan mengijinkannya melanjutkan perjalanan menuju tempat Citrakuta. Bahkan Maharsi Bharadvja juga memberitahu Sri Rama dan Laksamana menuju Citrakuta, jalan yang semestinya dilalui. Ditemani oleh Sita, Sri rama dan Laksamana menyeberangi Sungai Yamuna dengan rakit yang telah mereka persiapkan. Pada malam harinya mereka beristirahat di lembah Yamuna bersama Sita, yang gembira mendapat buah dan bunga kesukannya.
Melanjutkan perjalanan keesokan paginya dan gembira menyaksikan keindahan hutan, rombongan itu sampai di Citrakuta dan memasuki pertapaan Valmiki. Setelah memutuskan untuk tinggal sementara di sana dan atas perkenan bhagavan, Sri Rama mengajak Laksamana mendirikan gubuk dari dedaunan dan bersujud kepada para Dewa yang dipuja ditempar itu, mereka dengan penuh rasa syukur memasuki gubuknya pada saat yang tepat.
Setelah diberi kabar tentang keberangkatan Sri Rama ke Citrakuta oleh mata-mata Guha dan setelah pamita, Sumantra kembali ke Ayodhya. Ketika memasuki istana keputren, ia melaporkan kepada raja dan menambahkan informasi yang dilaporkan warga kerajaan yang turut menyertai kereta Sri Rama. Dasartha dan Kausalya jatuh pingsan mendengar tentang keberangkatan Sri Rama ke Citrakuta dan semua penghuni istana keputren meratap dalam kesedihan.
Meratapi nasib Sri Rama, Sita dan Laksamana yang tidak semestinya mengalami penderitaan setelah mereka pergi ke hutan, raja menyuruh Sumantra menyampaikan pesan perpisahandan kusir kereta berangkat menyampaikan apa yang mereka telah pesankan. Untuk mengobati rasa keingintahuan raja, Sumantra menceritakan keberangkatan Sri Rama ke hutan dan juga mengabarkan kepada beliau keadaan yang menyedihkan yang dirasakan oleh setiap makhluk hidup yang tidak tinggal ditempat yang semestinya dan meninggalkan kota kerajaan sebagai akibat dari pembuangan Sri Rama. Mendengar cerita yang begitu menyedihkan, Dasaratha marah seperti orang giila yang di hadapkan kusir kereta menteri.
Sumantra tidak berhasil meredakan kesedihan Kausalya, yang sempoyongan ke lantai karena terlalu sedih ketika berpisah dengan Sri Rama walaupun ia berusaha mengibur dengan mengatakan kepadanya bahwa Sri Rama, yang tegas dan berjiwa besar, sedang berada di hutan dalam keadaan bebas dari penderitaan.Menyadari bahaya bagi raja atas ketidakmampuannya yang menangung derita karena berpisah dengan Sri Rama. Kausalya, istri yang paling setia mengejek prabu Dasaratha.
Ketika disalahkan dengan kata-kata pedas oleh Kusalya, walaupun sudah merasa sedih karena berpisah denga putranya, Sri Rama dan menantunya, Dewi Sita, Dasaratha jatuh pingsan mengenang dosa masa lalu membunuh seorang petapa, yang berakibat pada kemalangannya saat ini. Saat siuman dari pingsannya beliau mencoba mencakupkan tangan untuk berdamai dengan Kausalya, lalu Kausalya pun membalasnya, sang prabu akhirnya tidur terlelap.
Setelah bangun tidur, dan mengenang dosa atas perbuatannya, yang berarti kematiannya, Dasaratha menemui Kausalya, bagaimana semasih beliau menjadi putra mahkota di Ayodhya, suatu hari beliau pergi berburu kedalam hutan dan pada saat menjelang pagi mendengar suara seorang anak pertapa sedang mengisi kendinya air dengan mencelupkan ke dalam Sungai Sarayu. Karena salah mengira bunyi berdeguk sebagai suara gajah, sang pangeran membidik dengan anak panah, yang tepat menancap di dada anak laki-laki itu dan menyebabkan luka parah. Ketika mendekati hasil buruannya, ia menemukan kecerobohan yang fatal dan memohon maaf dengan sepenuh hati kepada anak pertapa itu, yang meminyanya untuk mencabut anak panah dari badannya dan mengabarkan kejadian ini kepada orang tuanya. Anak itu meninggal begitu anak panah dicabut dari badannya.
Dasartha meneruskan ceritanya kepada Kausalya, ketika bertemu dengan orang tua almarhum, ia memberitahukan peristiwa yang tragis itu, kejadian menyedihkan dan menghantarkan mereka ke tepi sungai di mana mayat anaknya dibaringkan, kemudian kedua orang tua itu mendekapkan anak lelaki itu ke dada mereka dan mereka berdua sedih meratapi dan mempersembahkan air minum kepada Dewa. Bagaimana berkorban dengan badan halus, mendoakan arwahnya naik ke sorga sembari menghibur kedua orang tua itu dan akhirnya kedua orang tua itu yang tidak lain adalah pertapa mengutuk ang prabu yang juga kan mengalami kesedihan karena ditinggalkan putranya, kedau pertapa melepaskan rohnya dan mencapai Yang Maha Agung. Setelah menghubungkan dengan cerita kutukan itu da meratap keras, sang prabu menghembuskan nafas terakhir dalam pikirannya hanya ada Sri Rama.
Ketika Sang Prabu ridak bangun walupun dibangunkan dengan cara menyanyikan lagu pujian oleh pujangga, diiringi music yang dimainkan dengan tujuan yang sama, kaum putrid di keputren menyimpulkan sang prabu telah meninggal, segera disusul ratapan keras dari Kausalya, Sumitra dan ratu yang lainnya.
Membaringkan kepala bangsawan yang tak berdaya di atas pangkuannya dan menyalahkan Kaikeyi, Kausalya berduka cita untuk Sri Rama dan yang lainnya di pembuangan. Kausalya menahan diri, meratap dengan kedua tangan didekapkan di dada mendiang suamniya. Selanjutnya menyimpan mayat maharaja di dalam peti yang telah dilumuri minyak, para menteri dan pejabat istana lainnya kembali ke posnya masing-masing pada malam itu.
Menghubungkan dengan naik dan turunya suatu kerajaan dengan kehadiran dan hilangnya penguasa, Markendeya dan Brahmana utama lainnya, yang hadir melayat maharaja pada keeseokan harinya, mendesak Vasistha untuk segera menobatkan pageran naik tahta.Dengan persetujuan markendeya dan Brahmana yang lainnya, Vasistha mengirim utusan untuk memanggil Bharata dan Satrughna di istana kakek dari ibunya. Mereka segera meninggalkan kota kerajaan Kekaya dan memasuki kota kerajannya.
Melihat Bharata tertekan dan sedih, sahabat-sahabatnya berusaha menghiburnya dengan musik dan bercerita. Namun ketika pangeran tidak kembali kepada suasana hati biasanya, mereka ingin tau apa yang membuatnya termenung dan Bharata memberitahu mereka bagaimana ia bermimpi buruk pada malam sebelumnya.
Sementara Bharata menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang mimpinya pada malam sebelumnya, utusan dari Ayodhya tiba dihadapannya, dan member salam kepadanya, menyampaikan kepadanya permintaan Bhagavan Vasistha. Setelah mendengar langsung  semua keadaan dari mulut utusan itu, pangeran berpamitan kepada kakeknya dan berangkat menuju Ayodhya.
Ketika Bharata sampai di Ayodhya setelah menyebrangi banyak sungai kecil dan besar dan melintasi beberapa daerah dan menjumpai kota kerajaan yang murung dan wajah-wajah yang sepi, ia mulai berpikir keras apa yang membuat orang-orang kesedihan dan menduga-duga alas an di balik ini semua, menanyakannya kepada kusir kereta, memasuki istana membuatnya merasa sedih dan sangat tidak tenang.
Ketika memasuki ruangan ayahnya dan tidak menemukan bliau disana, Bharata bergegas ke ruangan ibunya, setelah memberitahukan keadaan kakeknya dan lain-lain yang ditanyakan ibunya, menanyakan kepada ibunya dimana gerangan ayahnya. Kaikeyi kemudian menyampaikan kematian ayahnya, menghubungkannya dengan pembuangan Sri Rama dan merasa dirinya bertanggung jawab atas hal ini, dan setelah menghiburnya dan meminta kesediaanya untuk dinobatkan menaiki tahtra setelah upacara pembakaran jenasah ayahnya.
Kaikeyi sangat menyesal, karena pernah melontarkan kata-kata pedas, Bharata berjanji di hadapan ibunya untuk membawa kembali Sri Rama dari hutan, menobatkannya ke singasana Ayodhya dan menunggu melayaninya sebagai pelayan atas kesalahan ibunya.
Dengan sangat marah ia menyalahkan ibunya, Bharata memutuskan tidak hanya mengajak pulang Sri Rama dari hutan dan menyerahkan mahkota raja tetapi juga menjalani pembuangan selama empat belas tahun untuk menebus janji kakaknya, Bharata yang diliputi amarah yang tak terkendali atas perasaan kekhilafan yang dilakukan ibunya, tidak sanggup menahan kesedihan dan jatuh tak sadarkan diri ke tanah.
Bersumpah bahwa apa yang telah terjadi atas pembuangan Sri Rama, Sita dan Laksamana dan berakibat sampai kematian raja bukanlah atas keinginannya. Bharata bergerak dengan Satrughna menuju ruangan ibu tirinya, Kausalya, yang berbicara tidak menyenangkan kepadanya, membangkitkan luka hatinya teringat akan kata-kata ibunya, Kaikeyi yang telah memberikan jabatan yang baik kepadanya di Kerajaan Kosala yang dicarinya. Akan tetapi Bharata menolaknya dengan halus dengan sejumlah sumpah atas keterlibatan akal bulus ibunya yang keji. Karena itulah ia ingin tahu perasaannya dan berterusterang, Kausalya memangku kepala Bharata dan menangis terisak-isak.
Setelah mengangkat jenasah ayahnya dari dalam peti yang penuh dengan minyak dan membakarnya dengan perlengkapan yang layak untuk seorang raja dan mempersembahkan air suci untuk arwah almarhum di tepi sungai Sarayu disuruh oleh Vasistha, Bharata kembali ke Ayodhya.
Setelah bersama Satrughna melakukan rangkaian upacara yang berhubungan dengan upacara pembakaran jenasah almarhum ayahandanya pada hari kedua belas kematiannya, Bharat mengadiahkan banyak emas dan permata kepada para Brahmana sebagai bagian dari upacara di atas. Diliputi rasa sedih dalam perjalanan untuk menjemput tulang almarhum pada hari ke tiga belas pangeran Bharata jatuh pingsan ke tanah. Berikutnya Satrughna juga jatuh terpleset karena diliputi kesedihan mendalam. Mereka dihibur oleh Vasistha dan Sumantra, kedua bersaudara itu meminta menteri untuk melakukan tugas menjemput tulang ayahnya.
Sementara Bharata merenung untuk melakukan perjalanan menemui Sri Rama, Satrughna menyalahkan Laksamana karena gagal menahan ayahnya dan mencegah secara paksa rencana pembuangan Sri Rama. Sejurus kemudian Bharata melihat Manthara berdiri di depan pintu mengenakan banyak perhiasan dan menganggapnya sebagai akar dari semua kejahatan, Lalu Satrughna mendamprat pelayan itu yang berdiri dia antara teman-temannya dan menangkapnya dengan menjambak rambutnya, menyeretnya di lantai dan juga menyalahkan Kaikeyi. Manthara dilepaskan setelah memohon belas kasihan dan dilerai oleh Bharata.
Pada hari keempat belas, para penasehat istana memohon dengan sangat kepada Bharata menerima singasana itu. Setelah menampik permohonan itu, Bharata yang berkeinginan keras agar Sri Rama kembali ke Ayodhya, memerintahkan mereka memanggil ahli bangunan untuk membuat jalan, jembatan, jalan pintas dan lain-lain untuk memudahkan perjalanannya ke tempat Sri Rama berada.
Para ahli bangunan yang dipanggil oleh Bharata untuk membuat jalan dari Ayodhya ke tepian Sungai Gangga dan agar lebih mudah menempuhnya dibuatkanlah beberapa gubuk dan sumur di sepanjang pinggir jalan.
Para penyair, pembaca doa-doa pujian dan penyanyi kidung mulai memuliakan Bharata sesuai tatacara adat di tengah-tengah ditabuhkannya music pengiring upacara hingga matahari terbit dan keesokan paginya, Bharata menghentikannya, menyerahkan kedaulatan dan mengadu kepada Satrughna atas hal yang tidak baik dilakukan kepada dusia oleh ibunya sendiri. Sementara itu Bhagavan Vasistha memasuki balai siding dan mengirim utusan untuk menghadirkan Bharata ke persidangan; atas perintah Bhagavan, Bharata ditemani Satrughna dan yang lainnya, memasukia balai sidang.
Bhagavan Vasistha mendesak Bharata menerima kerajaan yang diwariskan ayahnya dan kakaknya. Namun dengan  penuh rasa penghinaan menolak tawaran itu dan dengan berikrar suci berangkat ke hutan dan mencoba membujuk kakaknya untuk kembali ke Ayodhya. Untuk tujuan ini Sumantra telah menyiagakan kereta dan membawanya ke hadapan Bharata.
Setelah meninggalkan ibukota kerajaan keesokan paginya, ditemani oleh pandita keluarga, beberapa ahli bangunan, prajurit dan warga kerajaan menempuh jalan panjang, Bharata sampai di tepi Sungai Gangga di Srngaverapura yang diperintah oleh Guha, para prajurit berkemah disana, menghentikan perjalanan sejenak untuk melakukan Sraddha dan Tarpana untuk menghormati arwah almarhum ayahnya di tepi Sungai Gangga dan juga member kesempatan istirahat kepada para pengikutnya.
Karena naluri Bharata mencium kejahatan, ia membawa serta prajurit dalam jumlah besar, Guha memerintahkan tukang perahu untuk menjaga perahu sehingga bisa mencegah pengikut Bharata menyebrangi Sungai Gangga, dan ia sendiri menemui Bharata agar mengetahui tentang maksud kedatangan mereka. Setelah puas dengan menyuguhkan buah-buahan, umbi-umbian dan lain-lain yang dibawanya ketika beristirahat sejenak dan melepaskan lelah, mengijinkan melanjutkan perjalanan.
Bharata sangat memuji Guha, sebelum berangkat ia menyatakan kepada Guha jalan menuju pertapaan Bharadvaja. Ia pun berjanji menemani sebagai pemandu bersama pembantunya dan telah melenyapkan rasa was-wasnya terhadapnya. Guha mencari tahu maksud Sri Rama dan menghiburnya, yang akhirnya ia meratap atas prasangka hingga menjelang sore hari.
Guha menceritakan kepada Bharata bagaimana Sri Rama dan kawan-kawan berhenti sejenak di Srngaverapura dan menirukan percakapan yang berlangsung antara Laksamana dan dirinya pada malam itu dan selanjutnya mengatakan bagaimana kedua bersaudara itu mengecoh para pengikutnya, menyebrangi sungai suci bersama Dewi Sita dan meninggalkan pertapaan Bhagavan Bharadvaja.
Dilanda rasa sedih setelah mendengar penuturan Guha, bagaimana kedua kakaknya mengecoh pengikutnya, Bharata jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Setelah sadar pangeran mengirim Guha untuk member kabar kepada Kausalya, yang telah diselimuti keprihatinan akan keselamatan Sri Rama dan rombongannya dan setelah mendengar Bharata pingsan, dan memberitahukan keadaan Sri Rama sesungguhnya. Pada kesempatan itu, Guha juga menuturkan bagaimana Sri Rama dan Sita tidur di atas tempat tidur dari rumput kusa (alang-alang) yang disiapkan sendiri oleh tangan Laksamana ketika rombongan itu berhenti sejenak di Srngaverapura dan bagaimana Guha dan Laksamana menjaga mereka berdua sepanjang malam.
Menjelaskan kepada Kausalya dan yang lainnya tempat tidur rumput kusa yang dipakai bermalam oleh Sri Rama dan Sita, membandingkannya dengan kemewahan istana ketika mereka tinggal di Ayodhya, Bharata mengenangnya dan menganggap dirinya bertanggung jawab atas kejadian itu dan menyerahkan bagiannya kepada Sri Rama dan Sita dan berbagi penderitaan hidup, karena itu ia memutuskan untuk tinggal di hutan sebagai wakil dari Sri Rama dan menggelungkan rambutnya seperti pandita mengikuti jejak Sri Rama.
Setelah berkemah bersama prajuritnya, Bharata dipersilakan menyebrangi Sungai Gangga dengan perahu yang disiapkan oleh nelayan atas perintah Guha. Bharata berangkat denga Vasistha bersama yang lainnya untuk bertemu denga Bharadvaja di pertapaan.
Setelah meninggalkan pasukannya yang jaraknya cukup jauh dari pertapaan, Bharata masuk pertapaan bersama Vasistha dan Satrughna. Setelah menyampaikan cenderamata antara Vasistha dan Bharadvaja Bharata bersimpuh di kaki Bharadvaja dan member hormat, yang menanyakan kesehatan dan ingin tau tentang Sri Rama. Setelah itu dengan amat menyesal Bharata menceritakan keinginannya untuk mengajak Sri Rama pulang dari hutan dan menanyakan dimana Sri Rama berada. Atas pertanyaan ini, dikataka bahwa Sri Rama sedang beristirahat di Gunung Citrakuta, dan menyarankan Bharata untuk menemuinya keesokan harinya.
Keramahan yang ditunjukkan oleh Bhagavan Bharadvaja yang telah memperoleh kekuatan mistik melalui ketekunan tapabratanya kepada Bharata, prajurit dan pengawalnya. Kekuatan mistik merupakan kekuatan yang tidak dapat diperlihatkan bahkan kepada siapapun.
Bharadvaja menunjukkan jalan menuju Citrakuta dan menanyakan kepada Bharata nama ketiga ibunya, yang bersujud member hormat kepada Bharadvaja. Setelah itu menceritakan ketiga nama ibunya beserta riwayatnya, dan memerintahkan prajurit untuk melanjutkan perjalanan, Bharata menuju Citrakuta bersama beberapa penasehat.
Setelah menginjakkan kaki di Citrakuta bersama prajuritmya dan pengikut kemahnya, dan memeriksa tempat itu dengan bantuan tanda-tanda yang ditunjukan Bharadvaja, Bharata memerintahkan prajuritnya mengawasi pertapaan Sri Rama. Melanjutkan pencariannya mereka melihat asap kejauhan dan menyimpulkan pastilah itu pertapaan Sri Rama, Bharata memerintahkan prajuritnya berhenti dan memutuskan untuk berjalan kaki bersama Vasistha dan yang lainnya ke tempat itu.
Untuk mengalihkan pikirannya dan bermaksud menghibur Sita, Sri Rama memberikan gambaran tentang keadaan Citrakuta, dengan member penjelasan lebih pada hal-hal tertentu.
Uraian selanjutnya Sri Rama menghibur Sita, berceritta tentang Sungai Mandakini. Sementara menghibur diri dan ditemani Sita di atas bukit indah Citrakuta, Sri Rama tiba-tiba melihat awan tebal menyelimuti mentari dan mendengar suara bergemuruh dan memerintahkan Laksamana memastikan apa penyebabnya. Setelah mendengar perintah itu, Laksamana naik ke puncak pohon yang sangat tinggi, dan sekilas dilihatnya prajurit dengan kereta pemimpinnya dengan membawa bendera bergambar pohon Kovidara, dengan cepat menyimpulkan bahwa Bharata telah datang untuk membunuh Sri Rama guna memuluskan jalannya ke singasana Ayodhya. Dengan masih berada di atas pohon dekat diatas Sri Rama, legalah pikirannya akan kecurigaannya dan berbicara dengan agak marah kepada Bharata, ia bersumpah akan membunuh penyusup itu.
Dengan memandang tajam kearah Laksamana, yang sedang memberi gambaran keliru tentang Bharata, tidak pantas merencanakan pembunuhan atas dirinya, Sri Rama menenangkan Laksamana dengan menyakinkannya niat mulia dari Bharata. Karena malu mendengar pendapat kakaknya tentang Bharata, ia turun dari pohon dan menyembunyikan rasa malunya dengan mengalihkan pokok pembicaraan. Atas perintah Bharata, yang hendak menghindari keributan di pertapaan yang ditempati oleh Sri Rama, prajurit membuat kemah di sekitar Citrakuta.
Setelah mendamprat Guha dan Satrughna beserta pengikutnya, Bharata sendiri yang berkepentingan bertemu Sri Rama, pergi ke pertapaan ditemani para menterinya, ia iri pad keberuntungan Sita dan Laksamana yang tinggal bersama Sri Rama, dan sampailah ia dibawah pohon sal (pohon kayu di India utara yang menghasilkan kayu sejenis jati dan dammar) dan menyimpulkan dari tempat itulah datangnya asap diperkirakan dekat dengan pemukiman manusia dan menampik adanya orang lain yang hidup di tengah hutan seperti itu, ia sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan Sri Rama.
Setelah meminta menjemput ibunya, Bharata melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah gubuk yang terbuat dari ranting- ranting yang masih ada daunya yang merupakan tempat tinggal ketiga orang dalam pembuangan. Ketika berusaha memanggil Sri Rama, Sita dan Laksamana, ia melihat mereka, dia tersandung dan matanya berlinang air mata ketika melihat pakaian pertapa yang merka kenakan. Sri Rama bergegas membangkitkannyadn mendekapkan kepala di dadanya. Sumantra dan Guha juga akhirnya bertemu dengan Sri Rama dan Laksamana.
Dengan memangku kepala Bharata, Sri Rama memberi penjelasan tentang hal ketatanegaraan dan juga menanyakan tentang keadaan ayahnya dan yang lainnya.
Menanyakan mengapa ia menyerahkan kekuasaan Ayodhya dan pergi ke hutan dengan mengenakan pakaian pertapa, Bharata menyalahkan ibunya dan memohon dengan sangat kepada kakaknya agar kembali ke Ayodhya. Akan tetapi bagi Sri Rama membela pendapat ayahnya adalah hal yang utama dan semestinya dipatuhi oleh mereka bedua. Pertama, memerintahkan pembuangan terhadap kakaknya da kedua menyerahkan kerajaan kepada Bharata.
Bharata menceritakan kepada Sri Rama, setelah menghilang hak pelayanan istimewa untuk kakaknya, ia tidak akan melakukan apa-apa terhadap kedaulatan kerajaan dan memintanya mempersembahkan air suci kepada mendiang ayahnya yang meninggal karena selalu memikirkan Sri rama, dan kemudian sangat memohon kepadanya untuk segera mentasbihkan kedaulatan Ayodhya, upacara pembakaran jenasah mendiang raja telah dilakukan oleh kedua bersaudara (Bharata dan Satrughna) di Ayodhya.
Sri Rama jatuh pingsan setelah mendengar kabar ayahnya yang telah memasuki sorga dan ia sadar kembali karena Bharata dan kawan-kawan , yang memercikan air suci kepadanya. Sri Rama terus termenung. Dihibur oleh Bharata dan setelahnya juga menghibur Sita dan kembali-kembali ke tepi Sungai Gangga, namun ia tidak setuju mempersembahkan air suci dan nasi persembahan untuk arwah mendiang ayahnya, ia kembali ke gubuknya. Mendengar ada jeritan, prajurit mendekati mereka dan disapa oleh Sri Rama.
Ditemani oleh Kausalya dan yang lainya, Bhagavan Vasistha berangkat ke pertapaan Sri Rama. Vasistha menunjukan kepada istri-istrinya almarhum gumpalan bubur buah Ingudi yang dipersembahkan kepada arwah mendiang ayah Sri Rama yang diletakkan diatas rumput kusa dengan ujungnya menghadap keselatan sepanjang tepian sungai Mandakini, Kausalya meratapi mendiang suaminya. Ketika tiba di pertapaan, kedua bersaudara ( Sri Rama dan Laksamana) melihat gurunya dan bersimpuh di kakinya. Usai memberi hormat kepada gurunya, Sri Rama mengambil tempat duduk. Ditemani oleh para penasehat, Bharata juga duduk disampinya.
Bharata memohon dengan sangat kepada Sri Rama untuk menerima tahta Ayodhya dan ditawarka kepada Sri Rama sudah atas persetujuan Kaikeyi, kendati pun sebelumnya telah diberikan kepadanya oleh mendiang ayah mereka. Dengan menghibur Bharata, yang mana dirinya merasa bersalah atas pembuangan Sri Rama ke hutan dan ia merana karena hal itu, namun Sri Rama berusaha menenangkannya dengan berbagai cara dan mendesaknya untuk memikul beban pemerintahan itu.
Memohon dengan sangat kepada Sri Rama dengan alas an yang kuat untuk menerima tahta Ayodhya, Bharata bersumpah tidak akan kembali ke Ayodhya tetapi tetap tinggal di hutan Sri Rama tidak mengabulkan permohonannya. Bunda Kausalya dan yang yang lainnya juga mendukung Bharata untuk mendesak Sri Rama untuk mengabulkan permohonannya Sri Rama berpegang teguh untuk melaksanakan perintah mendiang ayahnya.
Sri Rama berusaha mempengaruhi Bharata yang percaya bahwa Dasaratha didorong oleh keterikatan yang sangat kuat kepada ibunya dalam menyerahkan kerajaan kepada sehingga Dasaratha dipaksa melakukan tindakan itu, karena di satu pihak, ia telah berjanji kepada ayah Kaikeyi ketika menikahinya, sehingga kemudiaan putranya berhasil naik tahta setelah meninggalnya Dasaratha , di pihak yang lain, ia ingin membayar hutang budi Bharata untuk mengambil kekuasaan Ayodhya.
Bharata akhirnya tidak berkutik karena Sri Rama, seorang Bhagavan ternama, Jabali namanya, mencoba membujuk Sri Rama untuk menerima tahta dengan mengambil perbandingan dengan teori Nastika (orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa) dengan maksud agar membuat seseorang gila akan kekuasaan dalam dirinya.
Jabali menjelaskan alasannya mengambil teori Nastika yang diajukan Bhagavan, mengambilnya sebagai antithesis Dharma.
Ditenangkan oleh Sri Rama , yang marah kepada Jabali, bhagavan Vasistha mendesaknya agar Sri Rama ditasbihkan menjadi raja. Karena dari wangsa IKsvaku, leluhur dari keturunannya, selanjutnya putra tertua sendiri yang mewarisi tahta Ayodhya dank arena ia bukan saja sebagai putra tertua ayahnya, tetapi juga yang paling berhak.
Dengan berdalih bahwa kelebihan seorang guru dibandingkan orang tua seseorang, Bhagavan Vasistha melihatnya berdasarkan kelebihannya dan sebagai konsesi bagi Bharata saudara Sri Rama, di mana janjinya harus menghormati perasaan saudaranya, mendesak Sri Rama menerima permohonan Bharata. Akan tetapi Sri Rama berpendapat bahwa orang tua lebih pantas dihormati dibandingkan guru dan mestinya senantiasa memenuhi janji yang sudah ia ucapkan kepada ayahnya. Merasa tidak enak karena pendapatnya , Bharata memutuskan untuk melaksanakan puasa sampai mati sebagai upaya terakhir untuk menekan kakaknya. Sri Rama menilai tindakan itu tidak bias diterima dari segi etika yang digariskan kepada kaum kesatrya, Bharata memohon kepada kakaknya agar tetap diijinkan tinggal dipengasingan di hutan sebagai pengganti dirinya. Namun Sri Rama mengenyampingkan usulan itu juga sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dengan mengatakan bahwa kewajiban seseorang yang dilimpahkan kepada pengganti hanya yang bersangkutan tidak mampu, yang tidak dapat mendasarkan atas keinginannya, dan menguatkan keputusannya untuk pulang ke Ayodhya hanya setelah memenuhi mandate yang diberikan oleh ayahnya.
Penghuni sorga berkumpul di angkasa gembira mendengarkan percakapan kedua bersaudara, Bharata dan Sri Rama. Setelah memutuskan pendiriannya, Sri Rama memalingkan wajahnya kearah gubugnya. Sementara berdalih akan ketidakmampuannya untuk melindungi kerajaan, sekarang usahanya untuk mengajak pulang Sri Rama ke Ayodhya telah membuatnya putus asa, Bharata memohon sekali lagi kesediaan Sri Rama. Tapi ketika ia mengetahuai bahwa kakaknya tidak bias dibelokkan sedikit pun dari janjinya, ia menaruh sepasang sandal kayu yang baru bertatahkan emas di depan kakaknya dan memohon kakaknya menjejakkan kakinya diatas sandal itu. Setelah memenuhi permintaannya, Sri rama menyerahkan sandal itu kepada Bharata, yang sebelumnya berjanji sebelum Sri Rama memberi dukungan ia tidak akan kembali setelah berakhirnya masa pembuangannya. Sri Rama akhirnya menyetujui janjinya itu dan setelah memeluk Bharata dan Satrughna, mengucapkan perpisahan kepada semua anggota rombongan sesuai dengan jabatannya, dan memasuki gubuknya.
Bertolak pulang ke ayodhya bersama bhagavan vasistha dan yang lainya, Bharata salut kepada bhagavan Bharadvaja dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi di Citrakuta dan juga tentang sepasang sandal kayu yang diterimanya dari Sri Rama sebagai perwakilannya, dan melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai gangga dan Yamuna bersama pengikutnya. Berangkat dari Srngaverapura sekilas melihat wajah Ayodhya dan menunjukan kepada Sumantra yang berwajah muram.
Valmiki menjelaskan bahwa wajah Ayodhya yang muram dengan berbagai perumpamaan. Bharata memasuki istana ayahnya dengan hati yang berat berbicara kepada Sumantra tentang kesedihan Ayodhya yang ditampakkan pada saat itu.
Atas perkenan Vasistha dan ditemani Satrughna dan yang lainnya, ketika sang ratu memasuki istana keputren, Bharata menuju Nandigrama dan menaruh sandak kayu Sri Rama di atas tahta kerajaan, ia sendiri mengenakan pakaian pertapa dan memerintah di bawah kuasa sandal itu, dan bernaung do bawah paying kebesaran kerajaan.
Belajar dari tanda- tanda di luar bahwa para petapa yang hidup di sekitar Sri Rama menginginkan berpindah ke hutan yang lain, dan kemudiaan menanyakan kepada mereka mengapa mereka ingin meninggalkan tempatnya. Setelah diberi tahu bahwa mereka diganggu kaum raksasa di bawah pimpinan Khara, ia mengijinkan dan memerintahkan mereka pergi dengan hormat, akhirnya kembali kepertapaan.
Takut tinggal lebih lama di Citrakuta karena banyak gangguan, Sri Rama meninggalkan gunung itu dan menuju pertapaan bhagavan atri yang dipanggil Rsi. Memiji kehidupan pertapaan bersama istrinya, Anasuya, bhagavan ,meminta Sri Rama mengajak istrinya, Sita, bersama Anasuya. Dengan senang hati menerima sang ratu, yang menyapa perempuan tua terhormat ketika samapai disana atas ajakan suaminya, Anasuya memberinya wejangan tentang kewajiban- kewajiban seorang istri yang setia.
Pada akhir percakapannya dengan Sita, Anasuya memerintahkan Sita untuk memohon berkatnya, dan Sita merasa sangat senang, pertapa menganugerahinya bunga-bunga dan perhiasan sorgawi. Didesak Anasuya, ia menghubungkan pertapa perempuan dengan cerita perkawinannya.
Dengan memuji teduhnya malam, yang kini telah larut, Anasuya menghantar Sita pulang, mengenakan perhiasan yang diberikannya sendiri, ke hadapan Sri Rama. Bagi Sri Rama yang terkejut melihat penampilan Sita yang anggun dengan permata-permata sorgawi, ia menjelaskan bagaimana mendapatkan permata-permata itu sebagai bingkisan cantik dari pertapa. Setelah menerima keramahtamahan sang pertapa dan menginap disana semalam. Sri Rama mohon diri pada pagi hari untuk melanjutkan perjalanan, mengikuti petunjuk yang deberikan pertapa, rombongan sang putrid memasuki hutan Dandaka.

2.2.2   Watak dari Masing-Masing Tokoh dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
Karakter tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita Ramayana yaitu:
a.       Sang Rama
Sri Rama putra tertua dari prabu Dasaratha dengan permaisuri Kausalya.  Sri Rama adalah personifikasi dari kebenaran, kemuliaan, kebaikan, kerendahan hati dan keberanian. Sebagai seorang putra dari seorang raja yang mulia dan baik, ia mengorbankan kehidupan pribadinya untuk membantu ayahnya untuk memenuhi janjinya pada istrinya Kaikeyi (ibu tiri Sri Rama). Ia mengasingkan diri di hutan tanpa dendam atau kebencian kepada ibu tirinya itu, yang merupakan penyebab dari pembuangannya ke hutan. Sri Rama member nasehat pada adiknya, Bharata yang sangat marah kepada ibu kandungnya (Kaikeyi) yang mengirim kakaknya Sri Rama untuk dibuang, untuk mencintai ibunya dan menghormatinya sebagai seorang ratu.
b.      Sita
Sita adalah putri sulung dari putri-putri raja Janaka, yang ketika memilih calon suaminya melakukannya dengan jalan “Swayamvara” (sayembara) dengan menentukan sendiri calon suaminya. Pada saat hari penobatan Sri Rama sebagai putra mahkota, Dewi Sita tampak sangat bahagia dan bersiap sedia untuk mendampingi suaminya mengikuti upacara penobatan. Namun Sri Rama, walaupun menghadiri prosesi upacara yang sangat besar, datang dari istana ayahandanya dengan bertelanjang kaki dan menampakkan sikap jengkel serta menceritakan dongeng kesedihan. Meskipun ia dinobatkan sebagai putra mahkota namun harus meninggalkan istana dan mesti menuju serta tinggal di istana Dandaka selama 14 tahun. Wanita normal akan sangat menderita mendengar berita buruk yang menimpa suami dan dirinya, namun Dewi Sita tersenyum ketika dinasehati untuk tinggal di istana dan mengatakan ia tidak sembarangan dan hal ini mestinya tidak di ucapkan oleh seorang pangeran yang pemberani. Seorang istri hendaknya selalu berbahagia apakah dalam keberuntungan ataupun barangkali dalam penderitaan selalu bersama suaminya. Ia seorang wanita pemberani dan cerdas serta memperhatikan Sri Rama. Demikian Dewi Sita menunjukkan kesetiaan dan bhaktinya kepada Sri Rama. Karakter Dewi Sita adalah perwujudan cinta, pengabdian dan kesucian yang ideal bagi wanita yang sudah menikah. Ia mencintai suaminya dengan pengorbanan dan pengabdiannya yang tidak pernah mendua saat mengalami cobaan dan kesengsaraan sepanjang hidupnya.
c.       Laksmana
Laksmana adalah saudara yang paling penting dan terkemuka diantara adik-adik Sri Rama. Ia adalah putra Dewi Sumitra istri kedua prabu Dasaratha, yang melahirkan putra kembar Laksmana dan Satrughna. Ketika Sri Rama memenuhi permintaan Kaikeyi untuk pergi meninggalkan istana dan mengembara ke tengah hutan selama 14 tahun, saat itu Dasaratha sangattertekan dan membatalkan acara penobatannya sebagai raja Ayodya. Laksmana hanya diam, marah dan tidak puas, menggerutu seperti penonton disamping Sri Rama. Laksmana berkarakter setia kepada Sri Rama, jujur, kejernihan berpikir,kemauannya yang keras, tanggung jawab dan teguh berpendirian.
d.      Raja Dasaratha
Dasaratha adalah ayah dari Sri Rama. Perilakunya dilihat dari pandangan batin Maha Rsi Walmiki adalah raja yang memerintah Ayodya yang adil dan makmur, serta sejahtera. Ia sangat memerhatikan rakyatnya, menjauhkan segala bentuk yang menimbulkan dosa.
e.       Dewi Kausalya
Dewi Kausalya adalah ibu dari Sri Rama dan permaisuri dari prabu Dasaratha. Dewi Kausalya adalah seorang wanita yang memiliki kebajikan dan bhakti terhadap suami. Dalam keadaan penderitaan apapun yang dialami, baktinya terhadap suami sungguh tiada taranya sehingga maha raja Dasaratha mampu melupakan segala derita yang dialami dan menemukan ketenangan hati. Dalam hal ini, tampak sangat bertentangan dengan madunya yaitu Dewi Kaikeyi. Dewi Kausalya juga sangat mencintai dan setia kepada suaminya, Prabu Dasaratha, ketika prabu Dasaratha menjelang ajalnya, dewi Kausalya memangku kepala suaminya itu.
f.       Dewi Kaikeyi
Dewi Kaikeyi adalah istri ketiga dari prabu Dasaratha. Karena adanya interaksi antara Kaikeyi dengan Mantara akhirnya mengubah karakter asli Kaikeyi. Dalam kenyataannya ia sangat bertentangan dengan Manthara, seorang dayang yang menghasut Dewi Kaikeyi untuk membuang Sri Rama dan menobatkan putra Kaikeyi, Bharata sebagai raja Ayodya untuk memenuhi janji yang pernah diucapkan oleh raja Dasaratha,menunjukkan bahwa pada dasarnya Kaikeyi tidaklah bersalah. Ia digambarkan sebagai wanita pemberani yang menemani suaminya maju ke medan pertempuran dan melindungi suaminya ketika ia sebagai kusir kereta, yang saat itu suaminya terluka dan hilang kesadarannya. Dewi Kaikeyi adalah seorang yang lemah pendirian, terbukti pada mulanya ia sangat senang terhadap penobatan Sri Rama, namun kemudian ia dibujuk oleh abdinya yang bernama Manthara. Kaikeyi merupakan sosok dengan karakter yang lemah,mudah dikendalikan, tidak tetap pendirian dan bahkan bertentangan pula dengan putranya tercinta Bharata.

g.      Manthara
Manthara adalah pelayan Dewi Kaikeyi, istri kedua dari Raja Dasarata. Punggungnya bungkuk dan merupakan keturunan Gandharvi bernama Dundubhi. Ketika segala sesuatunya telah siap dalam rangka penobatan Sri Rama sebagai putra mahkota Ayodhya, Manthara mendesak Kaikeyi untuk menghadap Raja Dasarata dan mendesak supaya raja memenuhi janjinya memberikan dua permintaan yaitu menobatkan putranya Bharata dan mengusir Sri Rama ke tengah hutan selama 14 tahun. Manthara memang sangat pandai berbicara, licik, pintar menyembunyikan rasa dengki dan iri hatinya. 
h.      Bharata
Bharata adalah putra dari Dewi Kaikeyi dan Prabhu Dasarata. Bharata sangat mencintai Satrughna melebihi yang lainnya. Tidak ada karakter yang terlalu menonjol pada dirinya kecuali kesetiaannya kepada Sri Rama, walaupun ia sangat mencintai ibunya, tetapi ia dengan tegas berani menolak permintaan ibundanya untuk menjadiraja. Ia menyadari yang berhak dan patut memimpin kerajaan adalah kakanya, yakni Sri Rama. Dalam keseharian melaksanakan tugas kerajaan, posisinya hanyalah sebagai wakil atau pelaksana tugas semata. Ketika upacara kematian ayahandanya berlangsung, Bharata menunjukkan sikap hormat dan bhakti kepadanya.
2.2.3   Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
a.       Nilai Politik
Dewi Kaikeyi meminta kepada Raja Dasarata agar menjadikan Bhatara sebagai raja Ayodhya dan menyuruh Raja Dasarata menyuruh Sri Rama untuk mengasingkan diri ke hutan selama 14 tahun.
b.      Nilai Amanat Penderitaan Rakyat
Kesedihan rakyat Ayodhya yang ditinggalkan oleh Sri Rama ke hutan untuk mengasingkan diri selama 14 tahun. Rakyatnya meminta untuk mengikuti Sri Rama, Dewi Sita dan Laksamana ke hutan tetapi ketika masyarakat tertidur di dalam hutan, Sri Rama mulai membangunkan Dewi Sita dan Laksamana dan melanjutkan kembali perjalananannya.
c.       Nilai Kehidupan Sosial
Pada saat Sri Rama dinobatkan menjadi raja pengganti dari Maharaja Dasarata,seluruh rakyat Ayodhya bergotong royong untuk mempersiapkan segalanya, seperti menghias kota dengan berbagai dekorasi yang indah yang menandakan adanya festival yang meriah tersebut.
d.      Nilai Hukum Karma
Ketika Raja Dasaratha secara tidak sengaja membunuh anak seorang Rsi dimana kedua suami istri tersebut mengalami kebutaan, sehingga  anak satu-satunya itulah yang melayani kedua orangtuanya dalam segala hal. Ketika anak tersebut sedang mencari air di Sungai Sarayu, pada saat bersamaan Raja Dasaratha sedang berburu dengan keahlian yang dimiliki yakni ajian sabdavedi, yaitu keahlian berburu hanya dengan mendengar suara binatang, beliau dapat membunuh binatang tersebut dari jarak jauh hanya dengan satu anak panah. Pada saat itu, beliau mendengar suara gajah yang sedang minum air dengan belalainya di Sungai Sarayu, dan seketika beliau mengambil anak panah dan menembakkannya ke arah suara tersebut. Terdengar suara rintihan seorang pertapa yang terkena panah sang raja, saat itulah beliau merasa bersalah karena panahnya menyebabkan pertapa tadi meregang nyawa. Sebelum meninggal, pertapa itu meminta sang raja untuk segera menemui orangtuanya dan mengatakan kejadian yang sebenarnya, karena kedua orangtuanya sudah tua dan buta, dia mengambil air untuk kedua orangtuanya, dan orangtuanya juga pasti akan meninggal karena tidak bisa hidup tanpa dirinya. Kemudian sang raja dengan segala kesedihan dan penyesalan menemui orangtua pertapa tersebut dan mengatakan kejadian yang sebenarnya. Tentu saja kedua orangtuanya merasa terpukul, dan pada akhirnya menemui ajal karena kepedihan berpisah dari sang anak. Namun sebelum meninggal, orangtua pertapa tadi mengutuk Raja Dasaratha agar dia mengalami nasib yang sama, dimana perpisahan dengan sang anak tercinta yang menyebabkan kematiannya. Ajaran Karmaphala hendaknya dijadikan suatu pedoman dalam bertingkahlaku sehari-hari, karena pengaruhnya sangat besar bagi kehidupanmanusia itu  sendiri.
e.       Nilai Kesetiaan dan Kejujuran
Ketika Raja Dasaratha akan menobatkan Sri Rama sebagai penggantinya, saat itu pula Manthara yang tidak lain adalah pelayan Dewi Kekayi menghasut ratunya untuk membatalkan penobatan Sri Rama sebagai raja dan menggantinya dengan putranya sendiri yakni Bharata. Kelicikan Manthara membuahkan hasil, dia berhasil membujuk Dewi Kekayi yang sesungguhnya sama sekali tidak berniat merebut tahta kerajaan, dengan cara menagih janji yang pernah diucapkan oleh raja Dasaratha ketika dia berperang melawan para detya, dan saat itu dia terluka parah kemudian ditolong oleh Dewi Kekayi yang akhirnya dijadikan permaisuri kerajaan. Saat itu Raja Dasaratha ingin membalas kebikan Dewi Kekayi yang telah menyelamatkan nyawanya dengan memberikan dua buah anugrah, namun Dewi Kekayi mengatakan belum memerlukan saat itu, dan raja Dasaratha pun akan memberikan anugrah itu kapanpun dia mau. Tepat pada saat Sri Rama akan dinobatkan sebagai penerus kerajaan, Dewi Kekayi atas hasutan Manthara menagih janji yang pernah diucapkan raja Dasaratha tersebut. Janjinya tidak lain agar Bharata yang dinobatkan sebagai penerus kerajaan, dan bukan Sri Rama. Permintaan yang kedua bahwa agar Sri Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Tentu saja permintaan itu membuat sang raja ragu, bimbang memberikan keputusan. Jika Raja Dasaratha mengikuti permintaan Dewi Kekayi, maka dia akan berpisah dengan Sri Rama selama 14 tahun, namun jika dia menolak permintaan Dewi Kekayi, maka seluruh dunia akan mencemooh sang raja telah mengingkari janjinya. Hal itu segera diberitahu kepada Sri Rama, dan atas bujukan beliau, maka dengan berat hati dan penyesalan yang dalam Raja Dasaratha mengabulkan permintaan Dewi Kekayi. Sri Rama dengan keseimbangan perasaannya telah membujuk ayahnya agar setia kepada perkataan, setia kepada janjinya terdahulu, karena jika beliau melanggar janji itu maka seluruh dunia akan mencemoohnya. Disinilah letak ajaransatya wacana dan satya semaya yang memang benar-benar diterapkan.
Ketika Raja Dasaratha telah wafat, Sri Rama ditemani Dewi Sita dan Laksmana telah diasingkan ke hutan, kemudian Bharata menolak untuk menjadi raja, dia pun  berkeinginan untuk menjemput kakaknya Sri Rama ke hutan agar bersedia kembali ke Ayodya dan menjadi raja di sana. Namun usahanya gagal, karen Sri Rama tetap bersikukuh memegang teguh janjinya bahwa dia harus melewati masa pengasingan tersebut, dan beliau memberikan solusi yakni terompah atau alas kaki Sri Rama yang dijadikan simbol raja Ayodya dan Bharata memimpin atas nama Sri Rama. Ajaran satya laksana sangat kental dalam hal ini, dimana Sri Rama tetap memegang teguh dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah diucapkan. Demikian pula halnya Bharata yang dengan kejujurannya dan kesetiaannya kepada kakanya, menolak keras untuk dinobatkan sebagai raja, karena itu bukan haknya pada saat itu. Kemudian kesetiaan Hanuman dan Sugriwa kepada Sri Rama merupakan bentuk ajaran satya mitra, atau setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat. Mereka ikut membantu Sri Rama menemukan kembali Dewi Sita yang diculik oleh Ravana, hingga berhasil membawa kembali Dewi Sita ke Ayodya.   Hanuman sebagai utusan Sri Rama benar-benar melakukan tugasnya dengan baik mengintai dan mengobrak-abrik kerajaan Alengka, dan memastikan keadaan Dewi Sita yang tengah disekap di taman Angsoka kemudian kembali membawa berita kepada Sri Rama. Perjuangan Hanuman dan pasukanya membangun jembatan melewati lautan menuju Alengka, merupakan suatu bentuk pengabdian, kesetiaan yang luar biasa. Ketika Hanuman akan diberikan imbalan oleh Sri Rama atas jasanya, dia menolak, dan dia hanya ingin selalu dekat dengan beliau, Hanuman hanya memohon agar Sri Rama dan Dewi Sita bersedia bersemayam di dalam hati Hanuman. Demikian ajaran kesetiaan dan kejujuran yang tertuang dalam epos Ramayana agar benar-benar dipahami dan dihayati.

Bab III
Penutup
33.1  Kesimpulan
Ceritanya diawali dengan rencana penobatan Sang Rama menjadi raja Ayodya. Akan tetapi rencana ini mengalami kegagalan karena Mahadewi Kaikeyi menuntut janji kepada baginda Dasaratha supaya Bharatalah (putra Mahadewi Kaikeyi) satu-satunya yang harus dinobatkan menjadi raja. Sang Rama lalu diperintahkan oleh ayahanda sang prabu untuk tinggal di hutan selama 14 tahun, dan ketika ayahanda meninggal dunia demikian pula segala upacara yang terkait dengan pembakarannya telah selesai dilaksanakan, maka dengan sangat menyesal serta bersedih hati Sang Bharata mohon kepada kakandanya yaitu Rama agar berkenan kembali ke Ayodya untuk menduduki tahta kerajaan. Sang Rama menolak, ia menasehati Bharata agar tidak berkecil hati menjadi raja. Sang Bharata menjadi senang setelah mendengar nasehat itu. Ia lalu pulang ke negeri Ayodya sambil membawa sandal kayu Rama sebagai lambang untuk memerintah di negeri itu.


Daftar Pustaka

Nurkancana, Wayan. 2010. Ramayana Kisah Kasih Perjalanan Rama. Denpasar : Pustaka Bali  Post.
Putra Semadi, Anak Agung Gede. 1992.Materi Pokok Wiracarita. Jakarta : Dirjen Bimas Hindu.
Titib, I Made. 2008. Ithiasa Ramayana dan Mahabharata (Viracarita) Kajian Kritis Sumber Ajaran Hindu. Surabaya : Paramitha.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kepemimpinan Mahatma Gandhi

BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Niti Sastra berasal dari kata Niti dan Sastra. Kata Niti yang berasal dari bahasa Sansk...