BabI
Pendahuluan
Pendahuluan
11.1
Latar Belakang
Kesusastaraan secara morfologis kata kesusastraan,
yang lebih sering hanya disebut sastra,
dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti ‘semua yang berkaitan
dengani, prefiks su ‘baik, indah, berguna’ dan bentuk
dasar sastra yang berarti ‘kata, tulisan,
ilmu’.Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah
semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Salah satu contoh dari
Kesusastraan Hindu adalah Itihasa.
Itihasa berasal dari
tiga suku kata yaitu, Iti, Ha, Asa. Iti berarti begini, Ha berarti tentu, dan
Asa berarti terjadi. Jadi Itihasa adalah cerita ini adalah memang sudah terjadi
begini atau benar-benar terjadi. Itihasa dapat disebut dengan Wiracarita. Wiracarita
yaitu cerita-cerita tentang kepahlawanaan. Itihasa merupakan bagian dari Weda ,
terletak pada Weda Smerti. Itihasa merupakan cabang ilmu kitab suci Hindu
terutama yang termasuk dalam kelompok Upaweda . Jenis itihasa merupakan jenis
epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana terdiri
dari tujuh kanda, yaitu Bala Kanda, Ayodhya Kanda, Aranya Kanda, Kiskinda Kanda,
Sundari Kanda, Yudha Kanda, dan Uttara Kanda. Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih
lanjut mengenai Ramayana, bagian kedua yaitu Ayodhya Kanda. Ramayana disusun
oleh Maha Rsi Walmiki . Ramayana merupakan sumber hidup dari etika dan
kebudayaan. Isi epos Ramayana disamping mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan
kebajikan , juga tidak sedikit epos ini menyimpan ajaran hidup yang sangat
bernilai dalam bidang politik pemerintahaan, strategi perang, amanat
penderitaan rakyat, kehidupan social, serta ajaran-ajaran agama yang semuanya
sesuai dengan kondisi Indonesia.
Ayodha Kanda dimulai
dengan kisah tentang kembalinya Sri Rama dan Dewi Sita ke Ayodhya untuk
dinobatkan sebagai Maharaja, namun dibatalkan oleh ayah andanya Prabu Dasaratha
dari permintaan Dewi Kaikeyi. Dia meminta dua permintaan kepada Prabu Dasaratha
yaitu, permintaan yang pertama agar putranya Bharata dinobatkan sebagai
Maharaja di Kerajaan Ayodhya, dan permintaan keduanya agar Sri Rama diasingkan
ke dalam hutan selama 14 tahun.
11.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana
isi cerita dari Ayodhya Kanda dalam Epos Ramayana?
2. Bagaimana
watak dari masing-masing tokoh dalam Ayodya Kanda Epos Ramayana?
3. Apa
saja nilai-nilai yang terkandung dalam Ayodhya Kanda?
11.3
Tujuan
dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari makalah ini yaitu:
1. Untuk
mengetahaui dan memahami isi dari Ayodhya Kanda dalam Epos Ramayana.
2. Untuk
mengetahui dan memahami watak dari masing-masing tokoh dalam Ayodhya Kanda Epos
Ramayana.
3. Untuk
mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Ayodhya Kanda.
Bab
II
Pembahasan
2.2.1 Isi
Cerita Dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
Kanda yang kedua Ramayana, mulai
denga kisah tentang kembalinya Sri Rama Dan Sita ke Ayodya untuk dinobatkan
sebagai maharaja, namun dibatalkan oleh ayahandanya Prabhu dasaratha, terdiri
dari 119 sargah masing-masing menguraikan :
Raja Bharata beserta Satrugna
menuju ke ibukota kerajaan pamannya dari pihak ibu. Maharaja merencakan
menobatkan putranya Sri Rama sebagai raja pengganti dan mengundang beberapa
raja bawahannya untuk membahasnya.
Maharaja Dasarata meyampaikan hal
tersebuut di persidangan agung dan akan menyerahkan sepenuhnya kekuasaannya
kepada Sri Rama dan seluruh penasehat kerajaan dan hadirin sepakat untuk maksud
tersebut dan bahkan maharaja mendesak supaya segera dilaksanakan penobatannya.
Didesak oleh maharaja untuk segera
menyelenggarakan upacara penobatan Sri Rama sebagai raja pengganti Maharaja
Dasarata, Maharsi Vasistha memerintahkan patihnya Sumantra dan yang lain-lain,
untuk segera mempersiapkan keperluan untuk acara tersebut. Sementara semua
orang mempersiapkan peralatan upacara di bawah pimpinam Sumatra, Sri Rama
menghadap ayahanda maharaja yang telah mengumumkan rencana penobatan tersebut
untuk mendapatkan berbagai petunjuk. Sri Rama menerima nasehat pula dari ibunya
Dewi Kausalya seperti halnya nasehat dari ayahanda maharaja dan dengan sujud
Sri Rama memberi penghormatan kepada ibunya kemudian meninggalkan menuju istana
putra mahkota, tempatnya sehari-hari.
Khawatir terjadinya halangan
terhadap penobatan Sri Rama lewat mimpi yang tidak menyenangkan, Maharaja
Dasarata segera memanggil Sri Rama untuk melakukan beberapa pantangan, untuk
menyucikan diri (puasa tertentu) bersama Dewi Sita sebelum acara penobatan
berlangsung. Atas seijin Maharaja Dasarata menenmui ibunya Dewi Kausalya,
setelah memperoleh restunya, Sri Rama beserta Dewi Sita meninggalkan tempat
ibundanya segera kembali ke peraduannya.
Di tempat Maharaja Dasarata,
Maharsi Vasistha memanggil Sri Rama bersama Dewi Sita untuk segera melakukan
puasa semalam suntuk. Maharaja menunda sebentar acara sidang dan istirahat di
peraduannya.
Atas perintah Maharsi Vasistha, Sri
Rama segera mandi pagi keesokan harinya, melakukan pemujaan kepada para Dewata
dan malam sebelumnya tidur diatas tempat tidur berupa alas rumput kusa
(alang-alang). Ketika pagi-pagi benar telah bangun keesokan harinya, Sri Rama
melakukan sembahyang rutinnya (Sandya) dan memohon restu kepada para pandita
untuk hari yang dirakhmati itu. Seluruh warga kota Ayodhya menghias kotanya
dengan berbagai dekorasi yang indah, menandakan akan adanya festival yang
meriah dan tampak gerombolan masyarakat yang ingin segera menyaksikan upacara
penobatan Sri Rama sebagai raja pengganti ayahandanya. Menyaksikan persiapan
demikian meriah dan tampak pula Dewi Kausalya memberikan cukup banyak dana
(sebagai penghormatan) kepada para Brahmana, Manthara, seorang abdi wanita yang
tubuhnya bengkok sejak kanak-kanak dan abdi setia dari Dewi Kaikeyi, yang
kebetulan menyaksikan dari lantai atas istana, menyelidiki keadaan Sri Rama
yang di masa lalu pernah dirawatnya. Mendengar rencana penobatan tersebut, Dewi
Kaikayi di satu pihak merasa bergembira atas rencana penobatan tersebut dan
merencakan untuk memberikan hadiah berupa berbagai permata sebagai tanda ikut
bergembira.
Sememtara itu Manthara mencoba
untuk mempengaruhinya, mendesak Dewi Kaikeyi untuk berusaha membatalkan
penobatan tersebut dan penobatan itu terus berlangsung, akan menjadikan
putranya sendiri, yakni Raja Muda Bharata memperoleh bencana, karena tidak
memperoleh kedudukan sebagai pengganti Maharaja Dasarata. Manthara mendesak
terus untuk dapatnya Kaikeyi membatalkan penobatan atas Sri Rama.
Dewi Kaikeyi, hatinya telah
diracuni oleh kedengkian, terbujuk oleh desakan Manthara dan meminta kepada
Maharaja Dasarata supaya mengusir Sri Rama dan menobatkan Bharata sebagai
pengganti Maharaja Dasarata dan bertanya kepada Manthara bagaimana caranya
mewujudkan keinginannya itu. Manthara menceritakan bagaiaman menarik pelajaran
dari konflik antara para Devata dengan para raksasa dan Prabhu Dasarata
memperoleh bantuan dari para Devata dan maharaja yang didampingi oleh istrinya
dalam situasi yang sangat kritis di medan perang benar-benar mendapat bantuan
dari istrinya itu, setelah selamat memberika dua anugrah yang pelaksanaannya
ditunda sampai tepat waktunya. Manthara mendesak Dewi Kaikeyi karena saatnya sekarang
sudah tiba, yakni pertama mengusir Sri Rama dan kedua menobatkan Bharata
sebagai raja pengganti ayahanda maharaja. Ketika Kaikeyi menghadap Maharaja
Dasarat membuang segala perhiasan yang dipakainya dan duduk di lantai, merajuk
dan cemberut, memelas kepada maharaja untuk dipenuhi permintaannya.
Mendapat dampratan, patih Sumantra
dan yang lain-lain yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya untuk penobatan
Sri Rama, Maharaja Dasarata mendatangi Dewi Kaikeyi, yang menyampaikan kabar
yang tidak bahagia tersebut kepadanya. Tidak dijumpai di tempat kediamannya,
Mahraja Dasarata, ternyata Dewi Kaiketi sedang merajuk dikamarnya, Maharaja
menghampirinya, mengangkat tubuhnya serta membujuknya.
Kaikeyi menghasut maharaja untyk
segera memenuhi keinginannya, Maharaja Dasarata memenuhi janjinya. Sang prabhu
memuji kebaikan Sri Rama dan membayangkannya sedang menjalani pengasingan, sang
prabhu berusaha memohin ketabahan Kaikeyi agar tidak jadi mengirim Sri Rama ke
pengasingan. Akan tetapi, dengan mengutip contoh dari harischandra dan yang
lainnya, Kaikeyi melipatgandakan keinginannya. Sang prabhu sendiri memarahi
Kaikeyi dengan kata-kata kasar dan memohon dengan sangat, namun sia-sia saja.
Merasa tersiksa oleh Kaikeyi karena
desakannya untuk mendapat anugrah dari sang prabhu dikabulkan, belakangan
beliau terus berusaha mendekatinya. Sementara matahari telah terbenam, snag
prabhu terus berusaha sampai keesokan harinya memohon agar mengijinkan Sri Rama
dinobatkan sebagai putra mahkota. Namun Kaikeyi tetap tak mau berubah, pikiran
sang prabhu sangat menderita sampai tak sadarkan diri dilantai dan saat beliau
siuman, menghentikan semua musik yang berhubungan dengan perayaan itu ketika
beliau meninggalkan peraduannya.
Dengan mengutip hal-hal yang
berkenaan denagn keteguhan hati sang prabhu pada kebenaran dan mengancam
mengorbankan hidupnya, keinginannya tidak dipenuhi, Kaikeyi bersikeras mengirim
Sri Rama ke pengasingan secepatnya dan tidak menghentikan niatnya sekalipun
dicemooh oleh suaminya. Sementara itu Sumantra muncul di istana keputren dan
terus memuji sang prabhu dan mengingatkan keinginannya untuk menobatkan Sri
Rama sebagai putra mahkota dan akhirnya meninggalkan istana keputren agar
memanggil Sri Rama demi sang prabhu.
Sementara keluar dari istana
keputren memanggil Sri Rama, Sumantra bertemu Vasistha dan kawan-kawannya dan
juga sejumlah raja yang menunggu di pintu depan dan mohon segeran melaporkan
kehadira mereka kepada sang prabhu. Akan tetapi ia diingatkan lagi untuk
menjemput Sri Rama dan dengan segera memasuki ruang istana berikutnya.
Melihat kehadiran Sri Rama,
Sumantra menyapa beliau sebagaimana perintah sang prabhu untuk mengajak Sri
Rama dan berangkat. Menunggu kereta emas yang ditemani Laksamana yang memegang
oayung dibagian depan dan melambaikan sepasang camara (kipas pengusir lalat) untuk mengipasinya dan diiringi oleh
sejumlah gajah dan kuda, Sri Rama mengemudikan kereta dalam kebesaran menuju
Dasarat, sambil mendengarkan lagu kemuliaannya dalam perjalan yang dinyanyikan
oleh laki-laki dan perempuan yang bersorak kegirangan.
Sri Rama naik kereta dala kebesaran
menuju istana ayahnya, melihat keagungan Ayodhya dari kejauhan, mendengar restu
dan pujian-pujian dari para sahabat dan kerabatnya dan mengerlingkan mata
kepada penonton dans etelah sampai di tempat tujuan mengirim balik rombongannya
untuk menyambut kehadiran yang mulian ayahnya.
Ditanya oleh Sri Rama apa yng
menyiksa pikiran ayahnya, Kaikeyi menceritakan kepadanya semua yang terjadi dan
dnegan keras mendesaknya berangkat ke hutan.
Setelah setuju berangkat kehutan,
Sri Rama berangkat untuk memohon diri kepada ibunda Kausalya.Bahkan karena Sri
Rama datang dari istana Ratu Kaikeyi, penghuni istana keputren tiba-tiba gaduh,
memuji kebaikan pangeran. Ibunda kausalya memeluk dan memanjatkan doanya untuk
Sri Rama dan sesaat kemudian ia bersimpuh di kaki ibunya. Setelah diberitahu
tentang masalah yang terjadi yang membawa Sri rama datang ke ruangan ibunya,
ibunya jatuh lunglai di lantai dirundung kesedihan dan mengangis tersedu-sedu
mengungkapkan kesedihannya.
Setelah menghibur Kausalya yang
tenagh berada dalam kesedihan atas pengasingan Sri Rama, Pangeran Laksamana
menentang rencana Sri Rama untuk berangkat ke hutan dan mencela Dasarata,
memutuskan menemmani kakaknya. Kausalya menghalangi Sri Rama pergi ke
pengasingan dan mengatakan Kaikeyi berlaku tak adil, akan tetapi Sri Rama
membenarkan perintah dengan alasan hal tersebut telah disetujui sang prabhu dan
meinta ibunya merelakan kepergiannya dan melakukan upacara berkaitan dengan
keberangkatannya.
Sri Rama menenangkan Laksamana yang
marah kepada Kaikeyi, dengn menolak perbekalan yang diberikan Kaikeyi untuk
pengasingannya dan menimpakan semua kesalahan sebagai nasibnya.
Karena marah sekali mendengar
desakan Sri Rama, Laksaman menyarankan kata-kata ayahanda patut diabaikan
karena tindaka itu jauh dari kebenaran, selanjutnya menekankan adanay dominasi
kepentingan pribadi atas takdir, membujuk Sri Rama untuk menyingsingkan lengan
melawan mereka yang campur tanga dalam acara penobatannya dan menduduki tahta dnega
cara paksa. Namun Sri Rama menenangkan Laksamana dan mecamkan padanya akan
perlunay melaksanakan perintah ayahnya.
Melihat Sri Rama patuh akan
perintah ayahnya, kausalya (ibunda Sri Rama) mendesak Laksamana untuk menyertai
Sri rama. Tetapi ketika dibetirahu, ibunda mengatakan adalah wajib bagi ibu
untuk mematuhi dan melayani suami yang masih hidup, ia merestui keberangkatan
Sri Rama ke hutan.
Setelah menerima restu untuk
perjalannya, Sri Rama bersimpuh di kaki ibunya dan akhirnya berangkat menuju
kamar Sita untuk menjenguknya. Melihat Sri Rama wajahnya muran dan tak
bercahaya karena keputusasaan atas persetujuannya Sita yang tak tahu apa-apa
tentang pembatalan penobatannya dan ingin tahu dan gembira sekali menunggu
kedatanganya, ingin tahu oentyebab kekesalannya dan diberitahu bagaimana
penobatannya dibatalkan da kenapa ia akan dikirim kepengasinagn oleh ayahnya
dan mendesak untuk merawat ayah dan ibu mertua seperti sebelun]mnya dan
memperlakukan Bharata dan Satrugna sebagai saudara atau anak sendiri dan tidak
pernah menaruh kebencian kepada mereka.
Didesak oleh Sri Rama untuk tinggal
di Ayodhya merawat orang tuanya, Sita menjawab, ia adalah bagian dari Sri rama
karenanya ia bersikeras untuk turut serta sebab ia taka akan sanggup terpisah
dari Sri Rama. Dengan mengajak Sita pulang ke pertapaan dan begitu menderitanya
hidup di hutan, Sri Rama mencoba sekali lagi melarangnya dari keinginan untuk
ikut serta ke hutan.
Sita terus memohon kepada Sri Rama
agar bisa diajak ke hutan bersamanya, akan tetapi Sri Rama tidak berubah dan
terus menghiburnya dan memintanya tinggal di Ayodhya.
Walaupun telah dihibur oleh Sri
Rama dengan berbagai cara, Sita tidak mengubah pendiriannya dan melihat
keteguhan hatinya untuk tetap ingin menyertainya, Sri Rama akhirnya mengijinkannya
untuk turut serta ke hutan dan memintanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya
serta memberikan semua milik pribadinya kepada Brahmana.
Setelah mendengar percakapan Sri
Rama dengan Sita, Laksmana mohon ijin untuk turut serta ke hutan, akan tetapi
Sri Rama menghendaki ia tetap tinggal di Ayodhya agar ada yang merawat ibunya.
Melihat kesungguhannya, Sri Rama membolehkannya juga turut serta dan
mendesaknya untuk mengajukan Suyajna dan Rsi-Rsi yang lain, menganggap mereka
pantas menerima pemberian darinya.
Setelah menerima pemberian permata
dan perhiasan dari Sri Rama dan Sita, Suyajna memohonkan doa restu suci untuk
pasangan mempelai. Diperintahkan oleh Sri Rama, Laksmana lalu mendermakan
busana sutra dan perhiasan dan lain-lain kepada putra Rsi Agastya dan yang
lainnya. Didorong oleh istrinya, seorang rsi, Trijata namanya, mendekati Sri
Rama untuk memohon harta kepada beliau. Sri Rama kemudian memberikan ribuan
ekor lembu dan membagikan sisa hartanya kepada para Brahmana dan sanak
saudaranya.
Setelah membagi-bagikan harta
kepada kaum Brahmana dan yang lainnya, Sri Rama ditemani Sita dan Laksmana
menghadap ayahandanya untuk mohon diri. Bahkan Sri Rama tetap tenang
mendengarkan berbagai perbincangan warganya yang berkumpul di sepanjang
perjalanan yang menyiratkan kesedihan yang mendalam pada wajah mereka, trio
warga kerajaan itu telah mencapai tempat tujuan dan mendesak Sumantra
memberitahu ayahandanya tentang sampainya disana.
Pemberitahuan tentang Sri Rama
telah tiba dipengasingan oleh Sumantra, Dasaratha terhenyak dan pingsan
mendengar kepergian Sri Rama dan istrinya. Menyadari sang Prabu jatuh tak
sadarkan diri setelah tidak melihat ahli warisnya, para perempuan rumah tangga
istana meratapi beliau dengan sangat memilukan. Ketika Sri Rama mohon diri
untuk pergi ke tengah hutan sang Prabu melarangnya dan memintanya menjadi raja.
Sri Rama tetap berusaha menghibur ayahnya dengan meyakinkan beliau ia tidak
memiliki keinginan yang kuat atas tahta kerajaan dan mematuhi perintah ayahnya
adalah hal terpenting. Namun Dasaratha lagi tak sadarkan diri karena teringat
perpisahannya dengan Sri Rama, dan Sumantra serta semua perempuan yang ada di
ruangan itu juga merasakan hal yang sama.
Berharap bahwa setelah dihasut
memarah, Kaikeyi mungkin sadar kembali dan meredakan keinginannya untuk
mengirim Sri Rama ke pengasingan, Sumantra mendekatinya, mengingatkannya akan
kelakuan yang tidak baik ibunya kepada suaminya (ayah Kaikeyi). Akan tetapi
Kaikeyi tetap pada pendirian dan tidak bergeser sedikit pun dari tujuannya
semula.
Dasaratha memerintahkan Sumantra
untuk mengambil sepasukan prajurit dan bendahara istana untuk menemani Sri
Rama, namun Kaikeyi keberatan dan tetap berpegang bahwa Sri Rama harus dikirim
ke pembuangan tanpa bekal apapun dengan membandingkan dengan Asamanja, putra
nenek moyangnya, Sagara. Seorang menteri kerajaan, namanya Siddharta, yang
hadir disana menentang Kaikeyi dan mengatakan bahwa analogi Asamanja, seorang
anak laki-laki yang suka membantah, tidak dapat diberlakukan pada kasus Sri
Rama, yang memiliki karakter ideal dan dengan alasan apapun berhak dinobatkan
sebagai Putra Mahkota. Lain halnya dengan Dewi Kaikeyi yang menentang rencana
sang Prabu mengancam untuk mendampingi ahli waris yang sah.
Sri Rama menyuruh pelayan mencari
kulit kayu untuk digunakan sebagai pakaian. Padahal Kaikeyi sendiri sudah
memberikan pakaian yang bagus, namun baik Sri Rama maupun Laksmana telah
menanggalkan pakaian kerajaannya. Akan tetapi sulit bagi Sita untuk mengenakan
pakaian dari kulit kayu dan akhirnya mengenakannya di luar pakaian biasanya
dengan bantuan Sri Rama, meskipun mendapat protes dari Vasistha, yang
memperingatkan Kaikeyi akan kekejaman untuk mengasingkan mereka.
Dasaratha menjadi marah mendengar
ratapan mereka yang hadir setelah mendengar Sita mengenakan pakaian pertapaan,
beliau pun mendekati Kaikeyi. Ketika berangkat, Sri Rama meminta ayahnya
merawat ibunya. Karena diutus Dasaratha, Sumantra menyiapkan kereta perang
untuk mengantarkan Sri Rama dan kawan-kawannya ke hutan dan Sita menghias
dirinya dengan perhiasan yang dibawa oleh penasehat dan bendahara kerajaan.
Kausalya member nasehat kepada menantunya dan dijawab dengan anggukan. Sri Rama
menghibur Kausalya dan mohon maaf kepada ibu-ibunya yang lain yang meratapinya.
Dasaratha mondar-mandir, sebagai
bukti rasa hormat Sita, Rama dan Laksmana menyapanya. Didampingi oleh Sita, Sri
Rama memberi salam kepada Kausalya. Laksmana juga menyapa Kausalya lebih dulu
dan kemudian ibunya sendiri, Sumitra. Sumitra menasehati putranya. Putra dan
putri mahkota naik ke atas kereta, Sumantra mengendalikan kuda. Warga kerajaan
yang telah berkerumun mengikuti kereta, namun tidak dapat menyamai cepatnya
kereta, mereka kembali sunyi. Dasaratha juga menyusul kereta itu bersama
Kausalya dan yang lainnya, namun karena tidak dapat melaju kelihatannya mulai
terhuyung-huyung dan tiba-tiba berhenti yang mengundang protes dari para
menteri yang bijaksana.
Para putri keraton meratapi
pengasingan Sri Rama serta yang lainnya dan segenap warga Ayodhya juga menjadi
begitu sedih. Sri Rama telah berangkat menuju hutab dengan laju kereta yang
demikian cepat, Dasaratha sia-sia saja menyusulnya dengan berjalan kaki. Kereta
yang demikian cepat menimbulkan debu yang tebal sesaat setelah lenyap, sang
prabu merasa sangat sedih dan roboh ke tanah. Ketika Kaikeyi mendekati untuk
memapahnya, beliau memakinya dan meminta jangan menyentuh dirinya. Kausalya
lalu membangkitkannya dan membujuknya untuk kembali. Pelayan pribadinya
mengajaknyakembali ke istana, melihat beliau jatuh dalam kedukaan, Kausalya duduk
di samping sang prabu dan nilai meratapinya.
Ratapan Dewi Kausalya menyesali
kejadian demi kejadian dan perpisahannya dengan putranya tercinta Sri Rama dan
menantunya yang setia Dewi Sita. Membuktikan kebesaran Sri Rama, Sumitra
seorang yang dulunya mahir berpidato, berusaha meresakan kesedihan Kausalya.
Ketika warga kerajaan yang
mengikuti perjalanan Sri Rama ke hutan menolak untuk kembali bahkan ketika
diminta oleh Sri Rama dengan berbagai cara, tidak mampu karena mereka tak mau
berpisah dengan Sri Rama, Sri Rama beserta dan Laksamana turun dari kereta dan
berjalan kaki. Warga kerajaan mencoba membelokkan perjalanan itu dan membujuk
SriRama untuk kembali, namun sia-sia. Menjelang senja mereka tiba ditepian
sungai Tamasa.
Setelah tiba di tepian sungai
Tamasa dan memikirkan kesedihan rakyat Ayodhya, Sri Rama berbaring beralaskan
dedaunan meratapi nasib ayahnya dan perasaannya menjadi lega karena yakin akan
kemampuan Bharata. Sementara Sumantra bercakap dengan Laksamana tentang
keluhuran budi Sri Rama. Setelah bangun, Sri Rama memerintahkan kusir kereta
untuk menjalankan kereta sedemikian rupa hingga bisa juga mengangkut beberapa
warga yang turut serta sehingga seolah-olah mengajak mereka kembali ke istana
dan tidak merasa berjalan menuju hutan. Ia kemudian naik kereta ke kereta
bersama Sita dan Laksamana dan menuju ke hutan.
Warga kerajaan yang telag mengikuti
perjalanan Sri Rama ke hutan menemukan Sri Rama telah pergi dan saling
mengungkapkan kekecewaan mereka. Untuk mengobati kesedihan mereka menelusuri
jejak kereta, namun tak berhasil menemukannya, mereka tak berdaya untuk kembali
ke Ayodhya dalam keadaan benar-benar patah semnagat.
Diberitau tentang keberangkatan Sri
Rama oleh warga kerajaan yang ikut bersama Sri Rama dan kembali, karena
kehilangan jejak keretanya, para istri mereka menyalahkan Kaikeyi dan larut
dalam ratapan. Setelah menempuh perjalan panjang, Sri Rama mandi pagi dan
melakukan pemujaan, dan setelah menyeberangi sungai-sungai di dalam kitab
Vedasruti, Gomati dan Syandika, berbincang-binang dengan Sumantra.
Berdiri mengahdap kearah Ayodhya,
Sri Rama mengucapkan selamat tinggal kepada tempat kelahirannya, menyuruh
pulang warga yang berasal dari desa terdekat, yang sempat mengunjunginya, dan
menyeberangi perbatasan Kosala, Sri Rama menuju lembah sungai Gangga. Begitu
turun dari kereta di bawah pohon ingudi yang tumbuh di lemah itu, ia pergi
menemui Guha, kepala desa Nisada, yang pernah menemuinya. Dan lebih dari itu,
melakukan pemujaan di sore hari dan mengambilkan air (untuk makan dan minum),
sang pangeran berbaring di atas tanah untuk beristirahat semalam. Sementara
Sumantra, Guha dan Laksamana berbincang-bincang sepanjang malam.
Mengatakan kesiapannya untuk
mengawal Sang Putra Mahkota dan permaisuri, melek semalam suntuk, Guha meminta
dengan sangat kepada Laksamana untuk berisitirahat. Akan tetapi dengan
mengingatkan Guha akan kebesaran Sri Rama, Laksamana mengatkan kepadanya bahwa
sekali pun kewajban menjaga saudara dan istrinya dapat dipercayakan kepada
Guha, ia merasa tidak pantas berbaring di samping kakak dan kakak iparnya dan
lebih memilih untuk tetap terjaga. Ingat akan kesedihan ayahnya dan ibu yang
disayanginya, karena itu melewatkan malam itu berbincang dengan Guha.
Sesaat akan naik ke atas perahu
yang di bawah oleh anak buah Guha dan diminta oleh Guha jiika mereka membantu
sang pangeran, Sri Rama memerintahkan supaya menghormati sang prabu. Didesak
oleh Sumantra untuk mengantarkannya sebagai pelayan pribadi ke hutan. Sang
pangeran menolak tawarannya yang simpati dan mengirimnya kembali ke Ayodhya.
Dengan mengunci pintu perahu dari pengikut yang demikian banyak dengan getah
pohon beringin yang dicarikan oleh Guha, Sri Rama dan Laksamana serta Sita
menaiki perahu itu. Ketika sampai di pertengahan sungai, Sita besujud kepada
Dewi Gangga (yang berstana di Sungai Gangga) dan stelah menyeberangi sungai
ketiga orang itu berhenti di bawah sebuah pohon.
Memahami kesulitan yang dialami
oleh Kausalya karena ulah Keikeyi, Sri Rama yang duduk di bawah pohon beringin
membujuk Laksamana dengan kerendahan hati agar kembali ke Ayodhya. Akan tetapi
Laksamana tidak mampu menjalani hidup tanpa kehadiran kakaknya dan tak akan
bergeser sedikit pun dari kakaknya. Karena itulah Sri Rama menyerahkan
sepenuhnya kepadanya untuk menemaninya selama pembuangan.
Dalam melanjutkan perjalanannya
menuju hutan Dandaka dengan Sita dan Laksamana, saat menjelang petang Sri Rama
sampai di pertapaan Bhagavan Bharadvaja dekat pertemuan dua Sungai Suci Gangga
dan Yamuna. Karena rasa hormatnya kepada Sri Rama dan lain-lainnya, Bhagavan
Bharadvaja menyarankan menumpang sementara di Citrakuta. Menghabiskan waktu
semalam denagn perbincangan berbagai topik, bhagavan mengijinkannya melanjutkan
perjalanan menuju tempat Citrakuta. Bahkan Maharsi Bharadvja juga memberitahu
Sri Rama dan Laksamana menuju Citrakuta, jalan yang semestinya dilalui.
Ditemani oleh Sita, Sri rama dan Laksamana menyeberangi Sungai Yamuna dengan
rakit yang telah mereka persiapkan. Pada malam harinya mereka beristirahat di
lembah Yamuna bersama Sita, yang gembira mendapat buah dan bunga kesukannya.
Melanjutkan perjalanan keesokan
paginya dan gembira menyaksikan keindahan hutan, rombongan itu sampai di
Citrakuta dan memasuki pertapaan Valmiki. Setelah memutuskan untuk tinggal
sementara di sana dan atas perkenan bhagavan, Sri Rama mengajak Laksamana
mendirikan gubuk dari dedaunan dan bersujud kepada para Dewa yang dipuja
ditempar itu, mereka dengan penuh rasa syukur memasuki gubuknya pada saat yang
tepat.
Setelah diberi kabar tentang
keberangkatan Sri Rama ke Citrakuta oleh mata-mata Guha dan setelah pamita,
Sumantra kembali ke Ayodhya. Ketika memasuki istana keputren, ia melaporkan
kepada raja dan menambahkan informasi yang dilaporkan warga kerajaan yang turut
menyertai kereta Sri Rama. Dasartha dan Kausalya jatuh pingsan mendengar
tentang keberangkatan Sri Rama ke Citrakuta dan semua penghuni istana keputren
meratap dalam kesedihan.
Meratapi nasib Sri Rama, Sita dan
Laksamana yang tidak semestinya mengalami penderitaan setelah mereka pergi ke
hutan, raja menyuruh Sumantra menyampaikan pesan perpisahandan kusir kereta
berangkat menyampaikan apa yang mereka telah pesankan. Untuk mengobati rasa
keingintahuan raja, Sumantra menceritakan keberangkatan Sri Rama ke hutan dan
juga mengabarkan kepada beliau keadaan yang menyedihkan yang dirasakan oleh
setiap makhluk hidup yang tidak tinggal ditempat yang semestinya dan
meninggalkan kota kerajaan sebagai akibat dari pembuangan Sri Rama. Mendengar
cerita yang begitu menyedihkan, Dasaratha marah seperti orang giila yang di hadapkan
kusir kereta menteri.
Sumantra tidak berhasil meredakan
kesedihan Kausalya, yang sempoyongan ke lantai karena terlalu sedih ketika
berpisah dengan Sri Rama walaupun ia berusaha mengibur dengan mengatakan
kepadanya bahwa Sri Rama, yang tegas dan berjiwa besar, sedang berada di hutan
dalam keadaan bebas dari penderitaan.Menyadari bahaya bagi raja atas
ketidakmampuannya yang menangung derita karena berpisah dengan Sri Rama.
Kausalya, istri yang paling setia mengejek prabu Dasaratha.
Ketika disalahkan dengan kata-kata
pedas oleh Kusalya, walaupun sudah merasa sedih karena berpisah denga putranya,
Sri Rama dan menantunya, Dewi Sita, Dasaratha jatuh pingsan mengenang dosa masa
lalu membunuh seorang petapa, yang berakibat pada kemalangannya saat ini. Saat
siuman dari pingsannya beliau mencoba mencakupkan tangan untuk berdamai dengan
Kausalya, lalu Kausalya pun membalasnya, sang prabu akhirnya tidur terlelap.
Setelah bangun tidur, dan mengenang
dosa atas perbuatannya, yang berarti kematiannya, Dasaratha menemui Kausalya,
bagaimana semasih beliau menjadi putra mahkota di Ayodhya, suatu hari beliau
pergi berburu kedalam hutan dan pada saat menjelang pagi mendengar suara
seorang anak pertapa sedang mengisi kendinya air dengan mencelupkan ke dalam
Sungai Sarayu. Karena salah mengira bunyi berdeguk sebagai suara gajah, sang
pangeran membidik dengan anak panah, yang tepat menancap di dada anak laki-laki
itu dan menyebabkan luka parah. Ketika mendekati hasil buruannya, ia menemukan
kecerobohan yang fatal dan memohon maaf dengan sepenuh hati kepada anak pertapa
itu, yang meminyanya untuk mencabut anak panah dari badannya dan mengabarkan
kejadian ini kepada orang tuanya. Anak itu meninggal begitu anak panah dicabut
dari badannya.
Dasartha meneruskan ceritanya
kepada Kausalya, ketika bertemu dengan orang tua almarhum, ia memberitahukan
peristiwa yang tragis itu, kejadian menyedihkan dan menghantarkan mereka ke
tepi sungai di mana mayat anaknya dibaringkan, kemudian kedua orang tua itu
mendekapkan anak lelaki itu ke dada mereka dan mereka berdua sedih meratapi dan
mempersembahkan air minum kepada Dewa. Bagaimana berkorban dengan badan halus,
mendoakan arwahnya naik ke sorga sembari menghibur kedua orang tua itu dan
akhirnya kedua orang tua itu yang tidak lain adalah pertapa mengutuk ang prabu
yang juga kan mengalami kesedihan karena ditinggalkan putranya, kedau pertapa
melepaskan rohnya dan mencapai Yang Maha Agung. Setelah menghubungkan dengan
cerita kutukan itu da meratap keras, sang prabu menghembuskan nafas terakhir
dalam pikirannya hanya ada Sri Rama.
Ketika Sang Prabu ridak bangun
walupun dibangunkan dengan cara menyanyikan lagu pujian oleh pujangga, diiringi
music yang dimainkan dengan tujuan yang sama, kaum putrid di keputren menyimpulkan
sang prabu telah meninggal, segera disusul ratapan keras dari Kausalya, Sumitra
dan ratu yang lainnya.
Membaringkan kepala bangsawan yang
tak berdaya di atas pangkuannya dan menyalahkan Kaikeyi, Kausalya berduka cita
untuk Sri Rama dan yang lainnya di pembuangan. Kausalya menahan diri, meratap
dengan kedua tangan didekapkan di dada mendiang suamniya. Selanjutnya menyimpan
mayat maharaja di dalam peti yang telah dilumuri minyak, para menteri dan
pejabat istana lainnya kembali ke posnya masing-masing pada malam itu.
Menghubungkan dengan naik dan
turunya suatu kerajaan dengan kehadiran dan hilangnya penguasa, Markendeya dan
Brahmana utama lainnya, yang hadir melayat maharaja pada keeseokan harinya,
mendesak Vasistha untuk segera menobatkan pageran naik tahta.Dengan persetujuan
markendeya dan Brahmana yang lainnya, Vasistha mengirim utusan untuk memanggil
Bharata dan Satrughna di istana kakek dari ibunya. Mereka segera meninggalkan
kota kerajaan Kekaya dan memasuki kota kerajannya.
Melihat Bharata tertekan dan sedih,
sahabat-sahabatnya berusaha menghiburnya dengan musik dan bercerita. Namun
ketika pangeran tidak kembali kepada suasana hati biasanya, mereka ingin tau
apa yang membuatnya termenung dan Bharata memberitahu mereka bagaimana ia
bermimpi buruk pada malam sebelumnya.
Sementara Bharata menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya tentang mimpinya pada malam sebelumnya, utusan dari Ayodhya
tiba dihadapannya, dan member salam kepadanya, menyampaikan kepadanya
permintaan Bhagavan Vasistha. Setelah mendengar langsung semua keadaan dari mulut utusan itu, pangeran
berpamitan kepada kakeknya dan berangkat menuju Ayodhya.
Ketika Bharata sampai di Ayodhya setelah
menyebrangi banyak sungai kecil dan besar dan melintasi beberapa daerah dan
menjumpai kota kerajaan yang murung dan wajah-wajah yang sepi, ia mulai
berpikir keras apa yang membuat orang-orang kesedihan dan menduga-duga alas an
di balik ini semua, menanyakannya kepada kusir kereta, memasuki istana
membuatnya merasa sedih dan sangat tidak tenang.
Ketika memasuki ruangan ayahnya dan tidak
menemukan bliau disana, Bharata bergegas ke ruangan ibunya, setelah
memberitahukan keadaan kakeknya dan lain-lain yang ditanyakan ibunya,
menanyakan kepada ibunya dimana gerangan ayahnya. Kaikeyi kemudian menyampaikan
kematian ayahnya, menghubungkannya dengan pembuangan Sri Rama dan merasa
dirinya bertanggung jawab atas hal ini, dan setelah menghiburnya dan meminta
kesediaanya untuk dinobatkan menaiki tahtra setelah upacara pembakaran jenasah
ayahnya.
Kaikeyi sangat menyesal, karena pernah
melontarkan kata-kata pedas, Bharata berjanji di hadapan ibunya untuk membawa
kembali Sri Rama dari hutan, menobatkannya ke singasana Ayodhya dan menunggu
melayaninya sebagai pelayan atas kesalahan ibunya.
Dengan sangat marah ia menyalahkan ibunya,
Bharata memutuskan tidak hanya mengajak pulang Sri Rama dari hutan dan
menyerahkan mahkota raja tetapi juga menjalani pembuangan selama empat belas
tahun untuk menebus janji kakaknya, Bharata yang diliputi amarah yang tak
terkendali atas perasaan kekhilafan yang dilakukan ibunya, tidak sanggup
menahan kesedihan dan jatuh tak sadarkan diri ke tanah.
Bersumpah bahwa apa yang telah terjadi atas
pembuangan Sri Rama, Sita dan Laksamana dan berakibat sampai kematian raja
bukanlah atas keinginannya. Bharata bergerak dengan Satrughna menuju ruangan
ibu tirinya, Kausalya, yang berbicara tidak menyenangkan kepadanya,
membangkitkan luka hatinya teringat akan kata-kata ibunya, Kaikeyi yang telah
memberikan jabatan yang baik kepadanya di Kerajaan Kosala yang dicarinya. Akan
tetapi Bharata menolaknya dengan halus dengan sejumlah sumpah atas keterlibatan
akal bulus ibunya yang keji. Karena itulah ia ingin tahu perasaannya dan
berterusterang, Kausalya memangku kepala Bharata dan menangis terisak-isak.
Setelah mengangkat jenasah ayahnya dari dalam
peti yang penuh dengan minyak dan membakarnya dengan perlengkapan yang layak
untuk seorang raja dan mempersembahkan air suci untuk arwah almarhum di tepi
sungai Sarayu disuruh oleh Vasistha, Bharata kembali ke Ayodhya.
Setelah bersama Satrughna melakukan rangkaian
upacara yang berhubungan dengan upacara pembakaran jenasah almarhum ayahandanya
pada hari kedua belas kematiannya, Bharat mengadiahkan banyak emas dan permata
kepada para Brahmana sebagai bagian dari upacara di atas. Diliputi rasa sedih
dalam perjalanan untuk menjemput tulang almarhum pada hari ke tiga belas
pangeran Bharata jatuh pingsan ke tanah. Berikutnya Satrughna juga jatuh
terpleset karena diliputi kesedihan mendalam. Mereka dihibur oleh Vasistha dan
Sumantra, kedua bersaudara itu meminta menteri untuk melakukan tugas menjemput
tulang ayahnya.
Sementara Bharata merenung untuk melakukan
perjalanan menemui Sri Rama, Satrughna menyalahkan Laksamana karena gagal
menahan ayahnya dan mencegah secara paksa rencana pembuangan Sri Rama. Sejurus
kemudian Bharata melihat Manthara berdiri di depan pintu mengenakan banyak
perhiasan dan menganggapnya sebagai akar dari semua kejahatan, Lalu Satrughna
mendamprat pelayan itu yang berdiri dia antara teman-temannya dan menangkapnya
dengan menjambak rambutnya, menyeretnya di lantai dan juga menyalahkan Kaikeyi.
Manthara dilepaskan setelah memohon belas kasihan dan dilerai oleh Bharata.
Pada hari keempat belas, para penasehat istana
memohon dengan sangat kepada Bharata menerima singasana itu. Setelah menampik
permohonan itu, Bharata yang berkeinginan keras agar Sri Rama kembali ke
Ayodhya, memerintahkan mereka memanggil ahli bangunan untuk membuat jalan,
jembatan, jalan pintas dan lain-lain untuk memudahkan perjalanannya ke tempat Sri
Rama berada.
Para ahli bangunan yang dipanggil oleh Bharata
untuk membuat jalan dari Ayodhya ke tepian Sungai Gangga dan agar lebih mudah
menempuhnya dibuatkanlah beberapa gubuk dan sumur di sepanjang pinggir jalan.
Para penyair, pembaca doa-doa pujian dan
penyanyi kidung mulai memuliakan Bharata sesuai tatacara adat di tengah-tengah
ditabuhkannya music pengiring upacara hingga matahari terbit dan keesokan
paginya, Bharata menghentikannya, menyerahkan kedaulatan dan mengadu kepada
Satrughna atas hal yang tidak baik dilakukan kepada dusia oleh ibunya sendiri.
Sementara itu Bhagavan Vasistha memasuki balai siding dan mengirim utusan untuk
menghadirkan Bharata ke persidangan; atas perintah Bhagavan, Bharata ditemani
Satrughna dan yang lainnya, memasukia balai sidang.
Bhagavan Vasistha mendesak Bharata menerima
kerajaan yang diwariskan ayahnya dan kakaknya. Namun dengan penuh rasa penghinaan menolak tawaran itu dan
dengan berikrar suci berangkat ke hutan dan mencoba membujuk kakaknya untuk
kembali ke Ayodhya. Untuk tujuan ini Sumantra telah menyiagakan kereta dan
membawanya ke hadapan Bharata.
Setelah meninggalkan ibukota kerajaan keesokan
paginya, ditemani oleh pandita keluarga, beberapa ahli bangunan, prajurit dan
warga kerajaan menempuh jalan panjang, Bharata sampai di tepi Sungai Gangga di
Srngaverapura yang diperintah oleh Guha, para prajurit berkemah disana,
menghentikan perjalanan sejenak untuk melakukan Sraddha dan Tarpana untuk
menghormati arwah almarhum ayahnya di tepi Sungai Gangga dan juga member kesempatan
istirahat kepada para pengikutnya.
Karena naluri Bharata mencium kejahatan, ia
membawa serta prajurit dalam jumlah besar, Guha memerintahkan tukang perahu
untuk menjaga perahu sehingga bisa mencegah pengikut Bharata menyebrangi Sungai
Gangga, dan ia sendiri menemui Bharata agar mengetahui tentang maksud
kedatangan mereka. Setelah puas dengan menyuguhkan buah-buahan, umbi-umbian dan
lain-lain yang dibawanya ketika beristirahat sejenak dan melepaskan lelah,
mengijinkan melanjutkan perjalanan.
Bharata sangat memuji Guha, sebelum berangkat
ia menyatakan kepada Guha jalan menuju pertapaan Bharadvaja. Ia pun berjanji
menemani sebagai pemandu bersama pembantunya dan telah melenyapkan rasa
was-wasnya terhadapnya. Guha mencari tahu maksud Sri Rama dan menghiburnya,
yang akhirnya ia meratap atas prasangka hingga menjelang sore hari.
Guha menceritakan kepada Bharata bagaimana Sri
Rama dan kawan-kawan berhenti sejenak di Srngaverapura dan menirukan percakapan
yang berlangsung antara Laksamana dan dirinya pada malam itu dan selanjutnya
mengatakan bagaimana kedua bersaudara itu mengecoh para pengikutnya,
menyebrangi sungai suci bersama Dewi Sita dan meninggalkan pertapaan Bhagavan
Bharadvaja.
Dilanda rasa sedih setelah mendengar penuturan
Guha, bagaimana kedua kakaknya mengecoh pengikutnya, Bharata jatuh ke tanah tak
sadarkan diri. Setelah sadar pangeran mengirim Guha untuk member kabar kepada
Kausalya, yang telah diselimuti keprihatinan akan keselamatan Sri Rama dan
rombongannya dan setelah mendengar Bharata pingsan, dan memberitahukan keadaan
Sri Rama sesungguhnya. Pada kesempatan itu, Guha juga menuturkan bagaimana Sri
Rama dan Sita tidur di atas tempat tidur dari rumput kusa (alang-alang) yang
disiapkan sendiri oleh tangan Laksamana ketika rombongan itu berhenti sejenak
di Srngaverapura dan bagaimana Guha dan Laksamana menjaga mereka berdua
sepanjang malam.
Menjelaskan kepada Kausalya dan yang lainnya
tempat tidur rumput kusa yang dipakai bermalam oleh Sri Rama dan Sita,
membandingkannya dengan kemewahan istana ketika mereka tinggal di Ayodhya,
Bharata mengenangnya dan menganggap dirinya bertanggung jawab atas kejadian itu
dan menyerahkan bagiannya kepada Sri Rama dan Sita dan berbagi penderitaan
hidup, karena itu ia memutuskan untuk tinggal di hutan sebagai wakil dari Sri
Rama dan menggelungkan rambutnya seperti pandita mengikuti jejak Sri Rama.
Setelah berkemah bersama prajuritnya, Bharata
dipersilakan menyebrangi Sungai Gangga dengan perahu yang disiapkan oleh
nelayan atas perintah Guha. Bharata berangkat denga Vasistha bersama yang
lainnya untuk bertemu denga Bharadvaja di pertapaan.
Setelah meninggalkan pasukannya yang jaraknya
cukup jauh dari pertapaan, Bharata masuk pertapaan bersama Vasistha dan
Satrughna. Setelah menyampaikan cenderamata antara Vasistha dan Bharadvaja
Bharata bersimpuh di kaki Bharadvaja dan member hormat, yang menanyakan
kesehatan dan ingin tau tentang Sri Rama. Setelah itu dengan amat menyesal
Bharata menceritakan keinginannya untuk mengajak Sri Rama pulang dari hutan dan
menanyakan dimana Sri Rama berada. Atas pertanyaan ini, dikataka bahwa Sri Rama
sedang beristirahat di Gunung Citrakuta, dan menyarankan Bharata untuk
menemuinya keesokan harinya.
Keramahan yang ditunjukkan oleh Bhagavan
Bharadvaja yang telah memperoleh kekuatan mistik melalui ketekunan tapabratanya
kepada Bharata, prajurit dan pengawalnya. Kekuatan mistik merupakan kekuatan
yang tidak dapat diperlihatkan bahkan kepada siapapun.
Bharadvaja menunjukkan jalan menuju Citrakuta
dan menanyakan kepada Bharata nama ketiga ibunya, yang bersujud member hormat
kepada Bharadvaja. Setelah itu menceritakan ketiga nama ibunya beserta
riwayatnya, dan memerintahkan prajurit untuk melanjutkan perjalanan, Bharata
menuju Citrakuta bersama beberapa penasehat.
Setelah menginjakkan kaki di Citrakuta bersama
prajuritmya dan pengikut kemahnya, dan memeriksa tempat itu dengan bantuan
tanda-tanda yang ditunjukan Bharadvaja, Bharata memerintahkan prajuritnya
mengawasi pertapaan Sri Rama. Melanjutkan pencariannya mereka melihat asap
kejauhan dan menyimpulkan pastilah itu pertapaan Sri Rama, Bharata
memerintahkan prajuritnya berhenti dan memutuskan untuk berjalan kaki bersama
Vasistha dan yang lainnya ke tempat itu.
Untuk mengalihkan pikirannya dan bermaksud
menghibur Sita, Sri Rama memberikan gambaran tentang keadaan Citrakuta, dengan
member penjelasan lebih pada hal-hal tertentu.
Uraian selanjutnya Sri Rama menghibur Sita,
berceritta tentang Sungai Mandakini. Sementara menghibur diri dan ditemani Sita
di atas bukit indah Citrakuta, Sri Rama tiba-tiba melihat awan tebal
menyelimuti mentari dan mendengar suara bergemuruh dan memerintahkan Laksamana
memastikan apa penyebabnya. Setelah mendengar perintah itu, Laksamana naik ke
puncak pohon yang sangat tinggi, dan sekilas dilihatnya prajurit dengan kereta
pemimpinnya dengan membawa bendera bergambar pohon Kovidara, dengan cepat
menyimpulkan bahwa Bharata telah datang untuk membunuh Sri Rama guna memuluskan
jalannya ke singasana Ayodhya. Dengan masih berada di atas pohon dekat diatas
Sri Rama, legalah pikirannya akan kecurigaannya dan berbicara dengan agak marah
kepada Bharata, ia bersumpah akan membunuh penyusup itu.
Dengan memandang tajam kearah
Laksamana, yang sedang memberi gambaran keliru tentang Bharata, tidak pantas
merencanakan pembunuhan atas dirinya, Sri Rama menenangkan Laksamana dengan
menyakinkannya niat mulia dari Bharata. Karena malu mendengar pendapat kakaknya
tentang Bharata, ia turun dari pohon dan menyembunyikan rasa malunya dengan
mengalihkan pokok pembicaraan. Atas perintah Bharata, yang hendak menghindari
keributan di pertapaan yang ditempati oleh Sri Rama, prajurit membuat kemah di
sekitar Citrakuta.
Setelah mendamprat Guha dan
Satrughna beserta pengikutnya, Bharata sendiri yang berkepentingan bertemu Sri
Rama, pergi ke pertapaan ditemani para menterinya, ia iri pad keberuntungan
Sita dan Laksamana yang tinggal bersama Sri Rama, dan sampailah ia dibawah
pohon sal (pohon kayu di India utara yang menghasilkan kayu sejenis jati dan
dammar) dan menyimpulkan dari tempat itulah datangnya asap diperkirakan dekat
dengan pemukiman manusia dan menampik adanya orang lain yang hidup di tengah
hutan seperti itu, ia sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan Sri Rama.
Setelah meminta menjemput ibunya,
Bharata melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah gubuk yang terbuat dari
ranting- ranting yang masih ada daunya yang merupakan tempat tinggal ketiga
orang dalam pembuangan. Ketika berusaha memanggil Sri Rama, Sita dan Laksamana,
ia melihat mereka, dia tersandung dan matanya berlinang air mata ketika melihat
pakaian pertapa yang merka kenakan. Sri Rama bergegas membangkitkannyadn
mendekapkan kepala di dadanya. Sumantra dan Guha juga akhirnya bertemu dengan
Sri Rama dan Laksamana.
Dengan memangku kepala Bharata, Sri
Rama memberi penjelasan tentang hal ketatanegaraan dan juga menanyakan tentang
keadaan ayahnya dan yang lainnya.
Menanyakan mengapa ia menyerahkan
kekuasaan Ayodhya dan pergi ke hutan dengan mengenakan pakaian pertapa, Bharata
menyalahkan ibunya dan memohon dengan sangat kepada kakaknya agar kembali ke
Ayodhya. Akan tetapi bagi Sri Rama membela pendapat ayahnya adalah hal yang
utama dan semestinya dipatuhi oleh mereka bedua. Pertama, memerintahkan
pembuangan terhadap kakaknya da kedua menyerahkan kerajaan kepada Bharata.
Bharata menceritakan kepada Sri
Rama, setelah menghilang hak pelayanan istimewa untuk kakaknya, ia tidak akan
melakukan apa-apa terhadap kedaulatan kerajaan dan memintanya mempersembahkan
air suci kepada mendiang ayahnya yang meninggal karena selalu memikirkan Sri
rama, dan kemudian sangat memohon kepadanya untuk segera mentasbihkan
kedaulatan Ayodhya, upacara pembakaran jenasah mendiang raja telah dilakukan
oleh kedua bersaudara (Bharata dan Satrughna) di Ayodhya.
Sri Rama jatuh pingsan setelah
mendengar kabar ayahnya yang telah memasuki sorga dan ia sadar kembali karena
Bharata dan kawan-kawan , yang memercikan air suci kepadanya. Sri Rama terus
termenung. Dihibur oleh Bharata dan setelahnya juga menghibur Sita dan
kembali-kembali ke tepi Sungai Gangga, namun ia tidak setuju mempersembahkan
air suci dan nasi persembahan untuk arwah mendiang ayahnya, ia kembali ke
gubuknya. Mendengar ada jeritan, prajurit mendekati mereka dan disapa oleh Sri
Rama.
Ditemani oleh Kausalya dan yang
lainya, Bhagavan Vasistha berangkat ke pertapaan Sri Rama. Vasistha menunjukan
kepada istri-istrinya almarhum gumpalan bubur buah Ingudi yang dipersembahkan
kepada arwah mendiang ayah Sri Rama yang diletakkan diatas rumput kusa dengan
ujungnya menghadap keselatan sepanjang tepian sungai Mandakini, Kausalya
meratapi mendiang suaminya. Ketika tiba di pertapaan, kedua bersaudara ( Sri
Rama dan Laksamana) melihat gurunya dan bersimpuh di kakinya. Usai memberi
hormat kepada gurunya, Sri Rama mengambil tempat duduk. Ditemani oleh para
penasehat, Bharata juga duduk disampinya.
Bharata memohon dengan sangat
kepada Sri Rama untuk menerima tahta Ayodhya dan ditawarka kepada Sri Rama
sudah atas persetujuan Kaikeyi, kendati pun sebelumnya telah diberikan
kepadanya oleh mendiang ayah mereka. Dengan menghibur Bharata, yang mana
dirinya merasa bersalah atas pembuangan Sri Rama ke hutan dan ia merana karena
hal itu, namun Sri Rama berusaha menenangkannya dengan berbagai cara dan
mendesaknya untuk memikul beban pemerintahan itu.
Memohon dengan sangat kepada Sri
Rama dengan alas an yang kuat untuk menerima tahta Ayodhya, Bharata bersumpah
tidak akan kembali ke Ayodhya tetapi tetap tinggal di hutan Sri Rama tidak
mengabulkan permohonannya. Bunda Kausalya dan yang yang lainnya juga mendukung
Bharata untuk mendesak Sri Rama untuk mengabulkan permohonannya Sri Rama
berpegang teguh untuk melaksanakan perintah mendiang ayahnya.
Sri Rama berusaha mempengaruhi
Bharata yang percaya bahwa Dasaratha didorong oleh keterikatan yang sangat kuat
kepada ibunya dalam menyerahkan kerajaan kepada sehingga Dasaratha dipaksa
melakukan tindakan itu, karena di satu pihak, ia telah berjanji kepada ayah
Kaikeyi ketika menikahinya, sehingga kemudiaan putranya berhasil naik tahta
setelah meninggalnya Dasaratha , di pihak yang lain, ia ingin membayar hutang
budi Bharata untuk mengambil kekuasaan Ayodhya.
Bharata akhirnya tidak berkutik
karena Sri Rama, seorang Bhagavan ternama, Jabali namanya, mencoba membujuk Sri
Rama untuk menerima tahta dengan mengambil perbandingan dengan teori Nastika
(orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa) dengan maksud agar
membuat seseorang gila akan kekuasaan dalam dirinya.
Jabali menjelaskan alasannya
mengambil teori Nastika yang diajukan Bhagavan, mengambilnya sebagai antithesis
Dharma.
Ditenangkan oleh Sri Rama , yang
marah kepada Jabali, bhagavan Vasistha mendesaknya agar Sri Rama ditasbihkan
menjadi raja. Karena dari wangsa IKsvaku, leluhur dari keturunannya,
selanjutnya putra tertua sendiri yang mewarisi tahta Ayodhya dank arena ia
bukan saja sebagai putra tertua ayahnya, tetapi juga yang paling berhak.
Dengan berdalih bahwa kelebihan
seorang guru dibandingkan orang tua seseorang, Bhagavan Vasistha melihatnya
berdasarkan kelebihannya dan sebagai konsesi bagi Bharata saudara Sri Rama, di
mana janjinya harus menghormati perasaan saudaranya, mendesak Sri Rama menerima
permohonan Bharata. Akan tetapi Sri Rama berpendapat bahwa orang tua lebih
pantas dihormati dibandingkan guru dan mestinya senantiasa memenuhi janji yang
sudah ia ucapkan kepada ayahnya. Merasa tidak enak karena pendapatnya , Bharata
memutuskan untuk melaksanakan puasa sampai mati sebagai upaya terakhir untuk
menekan kakaknya. Sri Rama menilai tindakan itu tidak bias diterima dari segi
etika yang digariskan kepada kaum kesatrya, Bharata memohon kepada kakaknya
agar tetap diijinkan tinggal dipengasingan di hutan sebagai pengganti dirinya.
Namun Sri Rama mengenyampingkan usulan itu juga sebagai sesuatu yang tidak
masuk akal, dengan mengatakan bahwa kewajiban seseorang yang dilimpahkan kepada
pengganti hanya yang bersangkutan tidak mampu, yang tidak dapat mendasarkan
atas keinginannya, dan menguatkan keputusannya untuk pulang ke Ayodhya hanya
setelah memenuhi mandate yang diberikan oleh ayahnya.
Penghuni sorga berkumpul di angkasa
gembira mendengarkan percakapan kedua bersaudara, Bharata dan Sri Rama. Setelah
memutuskan pendiriannya, Sri Rama memalingkan wajahnya kearah gubugnya.
Sementara berdalih akan ketidakmampuannya untuk melindungi kerajaan, sekarang
usahanya untuk mengajak pulang Sri Rama ke Ayodhya telah membuatnya putus asa,
Bharata memohon sekali lagi kesediaan Sri Rama. Tapi ketika ia mengetahuai
bahwa kakaknya tidak bias dibelokkan sedikit pun dari janjinya, ia menaruh
sepasang sandal kayu yang baru bertatahkan emas di depan kakaknya dan memohon
kakaknya menjejakkan kakinya diatas sandal itu. Setelah memenuhi permintaannya,
Sri rama menyerahkan sandal itu kepada Bharata, yang sebelumnya berjanji
sebelum Sri Rama memberi dukungan ia tidak akan kembali setelah berakhirnya
masa pembuangannya. Sri Rama akhirnya menyetujui janjinya itu dan setelah
memeluk Bharata dan Satrughna, mengucapkan perpisahan kepada semua anggota
rombongan sesuai dengan jabatannya, dan memasuki gubuknya.
Bertolak pulang ke ayodhya bersama
bhagavan vasistha dan yang lainya, Bharata salut kepada bhagavan Bharadvaja dan
mengatakan kepadanya apa yang terjadi di Citrakuta dan juga tentang sepasang
sandal kayu yang diterimanya dari Sri Rama sebagai perwakilannya, dan
melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai gangga dan Yamuna bersama pengikutnya.
Berangkat dari Srngaverapura sekilas melihat wajah Ayodhya dan menunjukan
kepada Sumantra yang berwajah muram.
Valmiki menjelaskan bahwa wajah
Ayodhya yang muram dengan berbagai perumpamaan. Bharata memasuki istana ayahnya
dengan hati yang berat berbicara kepada Sumantra tentang kesedihan Ayodhya yang
ditampakkan pada saat itu.
Atas perkenan Vasistha dan ditemani
Satrughna dan yang lainnya, ketika sang ratu memasuki istana keputren, Bharata
menuju Nandigrama dan menaruh sandak kayu Sri Rama di atas tahta kerajaan, ia
sendiri mengenakan pakaian pertapa dan memerintah di bawah kuasa sandal itu,
dan bernaung do bawah paying kebesaran kerajaan.
Belajar dari tanda- tanda di luar
bahwa para petapa yang hidup di sekitar Sri Rama menginginkan berpindah ke hutan
yang lain, dan kemudiaan menanyakan kepada mereka mengapa mereka ingin
meninggalkan tempatnya. Setelah diberi tahu bahwa mereka diganggu kaum raksasa
di bawah pimpinan Khara, ia mengijinkan dan memerintahkan mereka pergi dengan
hormat, akhirnya kembali kepertapaan.
Takut tinggal lebih lama di
Citrakuta karena banyak gangguan, Sri Rama meninggalkan gunung itu dan menuju
pertapaan bhagavan atri yang dipanggil Rsi. Memiji kehidupan pertapaan bersama
istrinya, Anasuya, bhagavan ,meminta Sri Rama mengajak istrinya, Sita, bersama
Anasuya. Dengan senang hati menerima sang ratu, yang menyapa perempuan tua
terhormat ketika samapai disana atas ajakan suaminya, Anasuya memberinya
wejangan tentang kewajiban- kewajiban seorang istri yang setia.
Pada akhir percakapannya dengan
Sita, Anasuya memerintahkan Sita untuk memohon berkatnya, dan Sita merasa
sangat senang, pertapa menganugerahinya bunga-bunga dan perhiasan sorgawi.
Didesak Anasuya, ia menghubungkan pertapa perempuan dengan cerita
perkawinannya.
Dengan memuji teduhnya malam, yang
kini telah larut, Anasuya menghantar Sita pulang, mengenakan perhiasan yang
diberikannya sendiri, ke hadapan Sri Rama. Bagi Sri Rama yang terkejut melihat
penampilan Sita yang anggun dengan permata-permata sorgawi, ia menjelaskan
bagaimana mendapatkan permata-permata itu sebagai bingkisan cantik dari
pertapa. Setelah menerima keramahtamahan sang pertapa dan menginap disana
semalam. Sri Rama mohon diri pada pagi hari untuk melanjutkan perjalanan,
mengikuti petunjuk yang deberikan pertapa, rombongan sang putrid memasuki hutan
Dandaka.
2.2.2
Watak
dari Masing-Masing Tokoh dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
Karakter tokoh-tokoh yang terdapat
dalam cerita Ramayana yaitu:
a. Sang
Rama
Sri
Rama putra tertua dari prabu Dasaratha dengan permaisuri Kausalya. Sri Rama adalah personifikasi dari kebenaran,
kemuliaan, kebaikan, kerendahan hati dan keberanian. Sebagai seorang putra dari
seorang raja yang mulia dan baik, ia mengorbankan kehidupan pribadinya untuk
membantu ayahnya untuk memenuhi janjinya pada istrinya Kaikeyi (ibu tiri Sri
Rama). Ia mengasingkan diri di hutan tanpa dendam atau kebencian kepada ibu
tirinya itu, yang merupakan penyebab dari pembuangannya ke hutan. Sri Rama
member nasehat pada adiknya, Bharata yang sangat marah kepada ibu kandungnya (Kaikeyi)
yang mengirim kakaknya Sri Rama untuk dibuang, untuk mencintai ibunya dan
menghormatinya sebagai seorang ratu.
b. Sita
Sita
adalah putri sulung dari putri-putri raja Janaka, yang ketika memilih calon
suaminya melakukannya dengan jalan “Swayamvara”
(sayembara) dengan menentukan sendiri calon suaminya. Pada saat hari penobatan
Sri Rama sebagai putra mahkota, Dewi Sita tampak sangat bahagia dan bersiap
sedia untuk mendampingi suaminya mengikuti upacara penobatan. Namun Sri Rama,
walaupun menghadiri prosesi upacara yang sangat besar, datang dari istana
ayahandanya dengan bertelanjang kaki dan menampakkan sikap jengkel serta
menceritakan dongeng kesedihan. Meskipun ia dinobatkan sebagai putra mahkota
namun harus meninggalkan istana dan mesti menuju serta tinggal di istana
Dandaka selama 14 tahun. Wanita normal akan sangat menderita mendengar berita
buruk yang menimpa suami dan dirinya, namun Dewi Sita tersenyum ketika
dinasehati untuk tinggal di istana dan mengatakan ia tidak sembarangan dan hal
ini mestinya tidak di ucapkan oleh seorang pangeran yang pemberani. Seorang
istri hendaknya selalu berbahagia apakah dalam keberuntungan ataupun barangkali
dalam penderitaan selalu bersama suaminya. Ia seorang wanita pemberani dan
cerdas serta memperhatikan Sri Rama. Demikian Dewi Sita menunjukkan kesetiaan
dan bhaktinya kepada Sri Rama. Karakter Dewi Sita adalah perwujudan cinta,
pengabdian dan kesucian yang ideal bagi wanita yang sudah menikah. Ia mencintai
suaminya dengan pengorbanan dan pengabdiannya yang tidak pernah mendua saat
mengalami cobaan dan kesengsaraan sepanjang hidupnya.
c. Laksmana
Laksmana
adalah saudara yang paling penting dan terkemuka diantara adik-adik Sri Rama.
Ia adalah putra Dewi Sumitra istri kedua prabu Dasaratha, yang melahirkan putra
kembar Laksmana dan Satrughna. Ketika Sri Rama memenuhi permintaan Kaikeyi
untuk pergi meninggalkan istana dan mengembara ke tengah hutan selama 14 tahun,
saat itu Dasaratha sangattertekan dan membatalkan acara penobatannya sebagai
raja Ayodya. Laksmana hanya diam, marah dan tidak puas, menggerutu seperti
penonton disamping Sri Rama. Laksmana berkarakter setia kepada Sri Rama, jujur,
kejernihan berpikir,kemauannya yang keras, tanggung jawab dan teguh
berpendirian.
d. Raja
Dasaratha
Dasaratha
adalah ayah dari Sri Rama. Perilakunya dilihat dari pandangan batin Maha Rsi
Walmiki adalah raja yang memerintah Ayodya yang adil dan makmur, serta
sejahtera. Ia sangat memerhatikan rakyatnya, menjauhkan segala bentuk yang
menimbulkan dosa.
e. Dewi
Kausalya
Dewi
Kausalya adalah ibu dari Sri Rama dan permaisuri dari prabu Dasaratha. Dewi
Kausalya adalah seorang wanita yang memiliki kebajikan dan bhakti terhadap
suami. Dalam keadaan penderitaan apapun yang dialami, baktinya terhadap suami
sungguh tiada taranya sehingga maha raja Dasaratha mampu melupakan segala
derita yang dialami dan menemukan ketenangan hati. Dalam hal ini, tampak sangat
bertentangan dengan madunya yaitu Dewi Kaikeyi. Dewi Kausalya juga sangat
mencintai dan setia kepada suaminya, Prabu Dasaratha, ketika prabu Dasaratha menjelang
ajalnya, dewi Kausalya memangku kepala suaminya itu.
f. Dewi
Kaikeyi
Dewi
Kaikeyi adalah istri ketiga dari prabu Dasaratha. Karena adanya interaksi
antara Kaikeyi dengan Mantara akhirnya mengubah karakter asli Kaikeyi. Dalam
kenyataannya ia sangat bertentangan dengan Manthara, seorang dayang yang
menghasut Dewi Kaikeyi untuk membuang Sri Rama dan menobatkan putra Kaikeyi,
Bharata sebagai raja Ayodya untuk memenuhi janji yang pernah diucapkan oleh
raja Dasaratha,menunjukkan bahwa pada dasarnya Kaikeyi tidaklah bersalah. Ia
digambarkan sebagai wanita pemberani yang menemani suaminya maju ke medan
pertempuran dan melindungi suaminya ketika ia sebagai kusir kereta, yang saat
itu suaminya terluka dan hilang kesadarannya. Dewi Kaikeyi adalah seorang yang lemah
pendirian, terbukti pada mulanya ia sangat senang terhadap penobatan Sri Rama,
namun kemudian ia dibujuk oleh abdinya yang bernama Manthara. Kaikeyi merupakan
sosok dengan karakter yang lemah,mudah dikendalikan, tidak tetap pendirian dan
bahkan bertentangan pula dengan putranya tercinta Bharata.
g. Manthara
Manthara
adalah pelayan Dewi Kaikeyi, istri kedua dari Raja Dasarata. Punggungnya
bungkuk dan merupakan keturunan Gandharvi bernama Dundubhi. Ketika segala
sesuatunya telah siap dalam rangka penobatan Sri Rama sebagai putra mahkota
Ayodhya, Manthara mendesak Kaikeyi untuk menghadap Raja Dasarata dan mendesak
supaya raja memenuhi janjinya memberikan dua permintaan yaitu menobatkan
putranya Bharata dan mengusir Sri Rama ke tengah hutan selama 14 tahun. Manthara
memang sangat pandai berbicara, licik, pintar menyembunyikan rasa dengki dan
iri hatinya.
h. Bharata
Bharata
adalah putra dari Dewi Kaikeyi dan Prabhu Dasarata. Bharata sangat mencintai
Satrughna melebihi yang lainnya. Tidak ada karakter yang terlalu menonjol pada
dirinya kecuali kesetiaannya kepada Sri Rama, walaupun ia sangat mencintai
ibunya, tetapi ia dengan tegas berani menolak permintaan ibundanya untuk
menjadiraja. Ia menyadari yang berhak dan patut memimpin kerajaan adalah
kakanya, yakni Sri Rama. Dalam keseharian melaksanakan tugas kerajaan,
posisinya hanyalah sebagai wakil atau pelaksana tugas semata. Ketika upacara
kematian ayahandanya berlangsung, Bharata menunjukkan sikap hormat dan bhakti
kepadanya.
2.2.3 Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Ayodhya Kanda Epos Ramayana
a. Nilai
Politik
Dewi
Kaikeyi meminta kepada Raja Dasarata agar menjadikan Bhatara sebagai raja
Ayodhya dan menyuruh Raja Dasarata menyuruh Sri Rama untuk mengasingkan diri ke
hutan selama 14 tahun.
b. Nilai
Amanat Penderitaan Rakyat
Kesedihan
rakyat Ayodhya yang ditinggalkan oleh Sri Rama ke hutan untuk mengasingkan diri
selama 14 tahun. Rakyatnya meminta untuk mengikuti Sri Rama, Dewi Sita dan
Laksamana ke hutan tetapi ketika masyarakat tertidur di dalam hutan, Sri Rama
mulai membangunkan Dewi Sita dan Laksamana dan melanjutkan kembali
perjalananannya.
c. Nilai
Kehidupan Sosial
Pada
saat Sri Rama dinobatkan menjadi raja pengganti dari Maharaja Dasarata,seluruh
rakyat Ayodhya bergotong royong untuk mempersiapkan segalanya, seperti menghias
kota dengan berbagai dekorasi yang indah yang menandakan adanya festival yang
meriah tersebut.
d. Nilai
Hukum Karma
Ketika
Raja Dasaratha secara tidak sengaja membunuh anak seorang Rsi dimana kedua
suami istri tersebut mengalami kebutaan, sehingga anak satu-satunya itulah yang melayani kedua
orangtuanya dalam segala hal. Ketika anak tersebut sedang mencari air di Sungai
Sarayu, pada saat bersamaan Raja Dasaratha sedang berburu dengan keahlian yang
dimiliki yakni ajian sabdavedi, yaitu keahlian berburu hanya dengan mendengar
suara binatang, beliau dapat membunuh binatang tersebut dari jarak jauh hanya
dengan satu anak panah. Pada saat itu, beliau mendengar suara gajah yang sedang
minum air dengan belalainya di Sungai Sarayu, dan seketika beliau mengambil anak
panah dan menembakkannya ke arah suara tersebut. Terdengar suara rintihan
seorang pertapa yang terkena panah sang raja, saat itulah beliau merasa
bersalah karena panahnya menyebabkan pertapa tadi meregang nyawa. Sebelum
meninggal, pertapa itu meminta sang raja untuk segera menemui orangtuanya dan
mengatakan kejadian yang sebenarnya, karena kedua orangtuanya sudah tua dan
buta, dia mengambil air untuk kedua orangtuanya, dan orangtuanya juga pasti
akan meninggal karena tidak bisa hidup tanpa dirinya. Kemudian sang raja dengan
segala kesedihan dan penyesalan menemui orangtua pertapa tersebut dan
mengatakan kejadian yang sebenarnya. Tentu saja kedua orangtuanya merasa
terpukul, dan pada akhirnya menemui ajal karena kepedihan berpisah dari sang
anak. Namun sebelum meninggal, orangtua pertapa tadi mengutuk Raja Dasaratha
agar dia mengalami nasib yang sama, dimana perpisahan dengan sang anak tercinta
yang menyebabkan kematiannya. Ajaran Karmaphala hendaknya dijadikan suatu
pedoman dalam bertingkahlaku sehari-hari, karena pengaruhnya sangat besar bagi
kehidupanmanusia itu sendiri.
e. Nilai
Kesetiaan dan Kejujuran
Ketika Raja Dasaratha akan menobatkan
Sri Rama sebagai penggantinya, saat itu pula Manthara yang tidak lain adalah
pelayan Dewi Kekayi menghasut ratunya untuk membatalkan penobatan Sri Rama
sebagai raja dan menggantinya dengan putranya sendiri yakni Bharata. Kelicikan
Manthara membuahkan hasil, dia berhasil membujuk Dewi Kekayi yang sesungguhnya
sama sekali tidak berniat merebut tahta kerajaan, dengan cara menagih janji
yang pernah diucapkan oleh raja Dasaratha ketika dia berperang melawan para
detya, dan saat itu dia terluka parah kemudian ditolong oleh Dewi Kekayi yang
akhirnya dijadikan permaisuri kerajaan. Saat itu Raja Dasaratha ingin membalas
kebikan Dewi Kekayi yang telah menyelamatkan nyawanya dengan memberikan dua
buah anugrah, namun Dewi Kekayi mengatakan belum memerlukan saat itu, dan raja
Dasaratha pun akan memberikan anugrah itu kapanpun dia mau. Tepat pada saat Sri
Rama akan dinobatkan sebagai penerus kerajaan, Dewi Kekayi atas hasutan
Manthara menagih janji yang pernah diucapkan raja Dasaratha tersebut. Janjinya
tidak lain agar Bharata yang dinobatkan sebagai penerus kerajaan, dan bukan Sri
Rama. Permintaan yang kedua bahwa agar Sri Rama dibuang ke hutan selama 14
tahun. Tentu saja permintaan itu membuat sang raja ragu, bimbang memberikan
keputusan. Jika Raja Dasaratha mengikuti permintaan Dewi Kekayi, maka dia akan
berpisah dengan Sri Rama selama 14 tahun, namun jika dia menolak permintaan Dewi
Kekayi, maka seluruh dunia akan mencemooh sang raja telah mengingkari janjinya.
Hal itu segera diberitahu kepada Sri Rama, dan atas bujukan beliau, maka dengan
berat hati dan penyesalan yang dalam Raja Dasaratha mengabulkan permintaan Dewi
Kekayi. Sri Rama dengan keseimbangan perasaannya telah membujuk ayahnya agar
setia kepada perkataan, setia kepada janjinya terdahulu, karena jika beliau
melanggar janji itu maka seluruh dunia akan mencemoohnya. Disinilah letak
ajaransatya wacana dan satya semaya yang memang benar-benar diterapkan.
Ketika
Raja Dasaratha telah wafat, Sri Rama ditemani Dewi Sita dan Laksmana telah
diasingkan ke hutan, kemudian Bharata menolak untuk menjadi raja, dia pun berkeinginan untuk menjemput kakaknya Sri
Rama ke hutan agar bersedia kembali ke Ayodya dan menjadi raja di sana. Namun
usahanya gagal, karen Sri Rama tetap bersikukuh memegang teguh janjinya bahwa
dia harus melewati masa pengasingan tersebut, dan beliau memberikan solusi
yakni terompah atau alas kaki Sri Rama yang dijadikan simbol raja Ayodya dan
Bharata memimpin atas nama Sri Rama. Ajaran satya laksana sangat kental dalam
hal ini, dimana Sri Rama tetap memegang teguh dan bertanggung jawab terhadap
apa yang telah diucapkan. Demikian pula halnya Bharata yang dengan kejujurannya
dan kesetiaannya kepada kakanya, menolak keras untuk dinobatkan sebagai raja,
karena itu bukan haknya pada saat itu. Kemudian kesetiaan Hanuman dan Sugriwa
kepada Sri Rama merupakan bentuk ajaran satya mitra, atau setia kepada teman
dan tidak pernah berkhianat. Mereka ikut membantu Sri Rama menemukan kembali
Dewi Sita yang diculik oleh Ravana, hingga berhasil membawa kembali Dewi Sita
ke Ayodya. Hanuman sebagai utusan Sri
Rama benar-benar melakukan tugasnya dengan baik mengintai dan mengobrak-abrik
kerajaan Alengka, dan memastikan keadaan Dewi Sita yang tengah disekap di taman
Angsoka kemudian kembali membawa berita kepada Sri Rama. Perjuangan Hanuman dan
pasukanya membangun jembatan melewati lautan menuju Alengka, merupakan suatu
bentuk pengabdian, kesetiaan yang luar biasa. Ketika Hanuman akan diberikan
imbalan oleh Sri Rama atas jasanya, dia menolak, dan dia hanya ingin selalu
dekat dengan beliau, Hanuman hanya memohon agar Sri Rama dan Dewi Sita bersedia
bersemayam di dalam hati Hanuman. Demikian ajaran kesetiaan dan kejujuran yang
tertuang dalam epos Ramayana agar benar-benar dipahami dan dihayati.
Bab
III
Penutup
33.1
Kesimpulan
Ceritanya diawali dengan rencana
penobatan Sang Rama menjadi raja Ayodya. Akan tetapi rencana ini mengalami
kegagalan karena Mahadewi Kaikeyi menuntut janji kepada baginda Dasaratha
supaya Bharatalah (putra Mahadewi Kaikeyi) satu-satunya yang harus dinobatkan
menjadi raja. Sang Rama lalu diperintahkan oleh ayahanda sang prabu untuk
tinggal di hutan selama 14 tahun, dan ketika ayahanda meninggal dunia demikian
pula segala upacara yang terkait dengan pembakarannya telah selesai
dilaksanakan, maka dengan sangat menyesal serta bersedih hati Sang Bharata
mohon kepada kakandanya yaitu Rama agar berkenan kembali ke Ayodya untuk
menduduki tahta kerajaan. Sang Rama menolak, ia menasehati Bharata agar tidak
berkecil hati menjadi raja. Sang Bharata menjadi senang setelah mendengar
nasehat itu. Ia lalu pulang ke negeri Ayodya sambil membawa sandal kayu Rama
sebagai lambang untuk memerintah di negeri itu.
Daftar Pustaka
Nurkancana,
Wayan. 2010. Ramayana Kisah Kasih
Perjalanan Rama. Denpasar : Pustaka Bali
Post.
Putra
Semadi, Anak Agung Gede. 1992.Materi
Pokok Wiracarita. Jakarta : Dirjen Bimas Hindu.
Titib,
I Made. 2008. Ithiasa Ramayana dan
Mahabharata (Viracarita) Kajian Kritis Sumber Ajaran Hindu. Surabaya :
Paramitha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar